Nama
Murshid |
Hadhrat
Khwaja Muhammad Abdul Ghaffar (r.a) |
Nama Murshid kami |
Hadhrat
Muhammad Sardar Ahmad Naqshbandi |
Jenis Sheikh |
Kamil, Muqammal & Akmal nurul huda Sheikh |
Khalifa Sejak
|
1958
|
Tarikh Lahir |
30th June 1930
|
Warganegara
|
Pakistan |
Umur |
86 |
Status Perkhawinan
|
Berkawin Dan
Mempunyai Anak |
Kelayakan |
Master
of Naqshbandia Mujadadia Tariqah, Alim & Mufti |
Activiti Keagamaan |
Menjalankan Activiti Kerohanian Dan Pembelajaran Sekitar |
Perkerjaan
|
Tabligh Agama & Mengajar Agama Quran Hadis Tafsir Fiqah |
|
|
Mentor
rohani untuk
lebih 500,000
Mureeds di Pakistan
sahaja |
Pakistan Termasuk Lahore, Bahawalpur, Bucheki, Farookabad,
Faisalabad, Sialkot & Narowaal.Uk.Malaysia.Indonasia.Singapore.Thailand
|
Tel
Nombor 00 92 301
490 3569 [Hadhrat
Peribadi Bimbit]
Sila menasihati
bahawa Shafiq
Faqir,
di Malaysia,
memberikan nombor |
Alamat
Utama
Darbar Pir Mitha,
Rehmat Pur Sharif,
Bucheki,
Nankana Sahib,
Punjab,
Pakistan
Kisah Para Sahabat
Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim, Abdullah ibnu
Umar ra.huma. berkata:
"Barangsiapa yang ingin meniru, hendaklah ia meniru perjalanan orang
yang sudah mati, yaitu perjalanan para sahabat Nabi Muhammad SAW, karena
mereka itu adalah sebaik-baik ummat ini, dan sebersih-bersihnya hati,
sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan, dan seringan-ringannya penanggungan.
Mereka itu adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi para
sahabat NabiNya SAW dan bekerja untuk menyebarkan agamanya. Karena itu,
hendaklah kamu mencontohi kelakuan mereka dan ikut perjalanan mereka.
Mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berdiri di atas jalan
lurus, demi Allah yang memiliki Ka'bah!"
(Hilyatul-Auliya' 1:305)
Kisah-kisah Sahabat Nabi
-
Abdullah Ibnu Rawahah - Penyair dan
Panglima Islam
-
Abdullah Ibnu Umar - Sahabat Rasul,
Sahabat Malam - new
-
Abdurrahman Bin 'Auf - Saudagar yang
Dijamin Surga
-
Abu Dzar Al-Ghifari - Sahabat dari
Ghifar
-
Abu Hurairah - Otaknya Gudang
Pengetahuan
-
Abu Ubaidah Bin Jarrah - Pemegang
Amanat Umat Dan Rasulullah
-
Amr Ibnu Jamuh - "Dengan cacat
pincangku ini, aku bertekad merebut surga...!"
-
Hamzah Bin Abdul Mutthalib - Singa
Allah
-
Hatib Ibnu Balta'ah - Pernah
Mengkhianati Rasulullah
-
Hudhayfa Ibnul Yaman - Seteru
Kemunafikan, Kawan Keterbukaan
-
Khalid Bin Walid - Ksatria Islam yang
Tangguh
-
Muawiyah Bin Abu Sofyan - Putera
Panglima Qureisy
-
Mush'ab Bin Umair - Duta Islam Yang
Pertama
-
Sa'ad Bin Abi Waqqash - Singa yang
Menyembunyikan Kukunya
-
Thalhah bin Ubaidillah - Pribadi yang
Pemurah dan Dermawan
-
Tsabit Bin Qeis - Juru Bicara
Rasulullah
-
Umar Bin Khattab - Amirul Mukminin
-
Utbah Bin Ghazwan - Gubernur Basra yang
Zuhud
-
Utsman Bin Affan - Kebaikannya Tidak
Menghindarkannya Dari Fitnah
-
Zaid bin Haritsah - Satu-satunya
Shahabat yang Namanya Tercantum dalam Al-Qur'an
-
Zubair Ibnul Awwam - Seorang Bernilai
Seribu Orang
Abdullah Ibnu Rawahah - Penyair dan
Panglima Islam
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi
kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan
bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri
dari dua belas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal
dengan nama Kaum Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil
janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah Al-Ula
(Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota
Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi
beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan
pesat bagi Agama Allah yaitu Islam. Maka salah seorang dari utusan yang
dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.
Dan pada tahun berikutnya, Rasulullah saw membai'at lagi tujuh puluh
tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka
tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at
itu.
Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan
menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak
usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya.
Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat
Abdullah bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah
telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke
sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan
tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan
Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah
bin Ubay dengan cermat, maka gagallah usahanya, dan maksud-maksud
jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan
yang langka degan kepandaian tulis baca. Ia juga seorang penyair yang
lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan
indah didengar.
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk
mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasullullah menyukai dan menikmati
syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat
syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba
datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang
anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"
Jawab Abdullah, "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan." Lalu
teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira
artinya secara bebas:
"Wahai putera Hasyim yang baik,
Sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia,
Dan memberimu keutamaan,
Di mana orang tak usah iri.
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu,
Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka, Dan memecahkan
persoalan , Tiadalah mereka hendak menjawab atau membela.
Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa,
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa."
Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya,
"Dan engkau pun akan diteguhkan Allah."
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla,
Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
"Oh Tuhan,
Kalaulah tidak karena Engkau,
Niscaya tidaklah kami akan mendapat petunjuk,
Tidak akan bersedeqah dan Shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami, Dan diteguhkan pendirian kami
jika musuh datang menghadang.
Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, Bila mereka
membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang."
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul
Karim yang artinya, "Dan para penyair, banyak pengikut mereka
orang-orang sesat."
(QS Asy-Syu'ara: 224). Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun
pula ayat lainnya, "Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan
beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah
mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara: 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri,
tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar,
Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat
syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan, "Wahai diri!
Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati
juga!"
Ia juga menyorakkan teriakan perang, "Menyingkir kamu, hai anak-anak
kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikan akan ditemui pada
Rasulnya."
Dan datanglah waktunya perang Muktah. Abdullah bin Rawahah adalah
panglima yang ketiga dalam pasukan Islam. Ibnu Rawahah berdiri dalam
keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota
Madinah. Ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya:
"Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman,
Keampunan dan kemenangan di medan perang,
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan,
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan,
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan,
Mati syahid di medan perang!"
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang, pukulan
pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang
berbahagia!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang Muktah. Sewaktu
orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka,
mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar dua ratus ribu
orang! Karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada
ujung akhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya!
Orang-orang Islam melihat jumlah mereka yang sedikit, lalu terdiam dan
sebagian ada yang menyeletuk berkata, "Baiknya kita kirim utusan kepada
Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat
bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita
patuhi."
Tetapi Ibnu Rawahah, bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara
barisan pasukan-pasukannya lalu berucap, "Kawan-kawan sekalian! Demi
Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan
berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah. Kita tidak memerangi
mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan
memeluknya kita telah dimuliakan Allah! Ayohlah kita maju! Salah satu
dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenangan atau syahid di jalan
Allah!"
Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi
besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi
Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah!"
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih
sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun
orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada
taranya. Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah
pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia,
disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia
memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusul pula
sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu
ia memungut panji perang dari tangan kanannya Ja'far, sementara
peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang
kecil itu, tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang datang
membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk
maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang
ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan
perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan
dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat
kehebatan tentara Romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan
ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia
membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua
kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga,
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga...
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati,
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti...
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini,
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati!
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada)
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati!"
Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya. Kalau tidaklah
taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan
ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga
dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi waktu keberangkatan
sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadirat
Allah, maka naiklah ia sebagai syahid.
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik
menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah
puncak idamannya, "Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku,
'Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah
terpimpin!'" "Benar engkau, ya Ibnu Rawahah! Anda adalah seorang
prajurit yang telah dipimpin oleh Allah!"
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam,
Rasulullah saw sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil
mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang
tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau
mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas
air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya
memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru,
beliau berkata, "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia
bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid... Kemudian diambil
alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid
pula..." Beliau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya,
"Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur
bersama panji itu, sampai akhirnya iapun syahid pula."
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya,
menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula,
"Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga."
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula …
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka
yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang
berbunyi, "Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……"
Abdullah ibn Umar - Sahabat Rasul, Sahabat Malam
Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15
tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda
berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan
diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah.
Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam
sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah),
ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang.
Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.
"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah.
Yang paling kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn
Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid,
yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah
menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.
"Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun
Abdullah ibn Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus
menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini
sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik
urusan akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu."
Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin
masa itu sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan
membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka para sahabat
melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas dirinya
sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi.
Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk
beribadah, dan berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon
ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa
hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat
bersama Rasulullah, ia pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku
ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain
beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke
neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya
menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka," begitulah
diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah,
keesokan harinya.
Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah
SAW bersabda,
ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru,
akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering
salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai
meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik
ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca
Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai
ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala
mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.
Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini
kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya:
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu
(Muhamad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu
orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka
ditelan bumi, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu
kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh
air mata.
Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu
membaca QS 83:-6 yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang
berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa
bahwa mereka akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat,
yaitu ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Lantas
Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu
lirabbil 'alamiin",
ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air
matanya bercucuran, sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka
mendalam dan banyak menangis.
Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan
begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW,
apabila ia mendnegar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis.
Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik
di Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran
air bening meluncur dari sudut matanya.
Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq,
karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya
minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia
remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Dermawan.
Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia
pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan
banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari
Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk
dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang
buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara
hamba-hambanya.
Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai
baju dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail
Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan
tunggangannya dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu
kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar)
menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia
berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya? "Tidak sampai malam
hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu,
mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah tak
lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu,
Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian
jawab keluarga Ibn Umar.
Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat
yang agak tinggi dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan
lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya
sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia
membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang."
Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya
memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian.
Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan
bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran
mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian mengundang
orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang
kelaparan."
Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam
kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya,
terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan
miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn
Umar, dengan harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke
rumahnya.
Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai
fatwa enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran
Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi
yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya.
Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau
kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan
dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".
Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar
menolak. semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas
menolak.
"Apakah antum
tak hendak menaati perintahku?"
"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam:
pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua,
yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang
berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang,
tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah
memohon kepada
antum agar dibebaskan dari jabatan itu."
Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak
menyamnpaikan alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang
yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti
jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah
mendapatkan kadi yang takwa dan salih.
Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara
sahabat Rasulullah masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas
memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan
sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas
memegangnya.
Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu
Bakar Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab
suatu ketika mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam
keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran.
"Wahai Amirul Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah
seorang wakil yang akan menggantikan engkau?"
"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup,
niscaya aku akan tunjuk dia sebagai pengganti." Salah satu sahabat
berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah Abdullah
ibn Umar."
"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau
usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini,
sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang diri saja yang akan
diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal mengenai umat
Muhamad saw ini."
Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali
lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya.
Khalifah pun memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang
teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang yang
kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat,
beliau rela kepada orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang
dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib,
Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn
Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."
Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya
berhak memilih, tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah
ibn Umar sampai mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan
pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki
kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami
dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.
Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar
kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang
jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang
kuat.
Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal
dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun
sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut
ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat
terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah
memang tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan
penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang
saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis
Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi
luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan
mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi,
termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan
penduduk Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu
Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua
terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun
hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis
langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar
ibn Khattab ra.
Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air
pengetahuan menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia
mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang
menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap
diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia
menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah, kemampuannya
mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana
dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama Abdullah
ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan
sunni.
Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di
antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam.
Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan
pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang
berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal
kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.
Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan
kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan
tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan
berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan
Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali
Allah." Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?"
Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan
pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."
Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya
menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil
menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas
jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj
beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu,
berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab
sepatah katapun.
Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn
Khattab sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi.
Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat
Rasulullah yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa
Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit
menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.
Menghindari Jabatan, Antikekerasan
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi,
sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang
bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat
tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.
Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok
umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah
Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta
orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah,
seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan
daku." Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak
kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa
pun bubar.
Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah.
Ibn Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin
tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian
lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan
terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling
mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali
engkau."
"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula
aku berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan
mereka?" saut Ibn Umar heran.
"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."
"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang
yang lain tidak."
Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam
ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin
Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali
menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan
tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra
dari pemimpinnya."
"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"
"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."
"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada
seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku."
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.
"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di
tangan yang kuat lagi perkasa." Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah
Muawiyah ibn Yazid.
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan
para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan
pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’, akan kupenuhi. Siapa
yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi
siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas
hartanya’ aku katakan: tidak!"
Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan
amat sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah
satunya. Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa
sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka
letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka
berbunuhan lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan
bantuan. Sungguh menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah
ibn Umar.
Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu
pun yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat
menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi
kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi
semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan
pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar
menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah
Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193,
perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga
orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.
Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang
musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan
kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala
memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga
akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan
memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?
Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu
Khaldun dalam
Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar
melarikan diri dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang senang
menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun
yang terlarang. Wallahu’alam.
Abdurrahman Bin 'Auf - Saudagar yang
Dijamin Surga
Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat debu
tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir
kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup
ufuk pandangan mata. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning
dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu
kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.
Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan
pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar
suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar
yang panjang.
Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya
memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak
saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut
bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa
kafilah itu.
Ummul Mu'minin Aisyah ra demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia
bertanya, "Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?" Mendapat jawaban,
bahwa kafilah Abdurrahman bin 'Auf baru datang dari Syam membawa
barang-barang dagangannya. Kata Ummul Mu'minin lagi, "Kafilah yang telah
menyebabkan semua kesibukan ini?" "Benar, ya Ummal Mu'minin, karena ada
700 kendaraan!" Ummul Mu'minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari
melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat
kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya.
Kemudian katanya, "Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,
'Kulihat Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!'"
Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan? Kenapa ia tidak
memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan
pertama para shahabat Rasul? Sebagian shahabat menyampaikan ceritera
Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits
ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yangberbeda-beda.
Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya, ditujukannya
langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lalu berkata kepadanya, "Anda telah
mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya." Kemudian
ulasnya lagi, "Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi
saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan
perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah 'azza wajalla!" Dan
dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk
Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang sangat besar.
Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang
kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurahman bin 'Auf. Dialah saudagar yang
berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah
orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah.
Dialah seorang Mu'min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian
keuntungan dunianya oleh karena keuntungan agamanya, dan tidak suka
harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala
surga. Maka dialah ra yang membaktikan harta kekayaannya dengan
kedermawanan dan pemberian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan
rela.
Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk
Islam sejak fajar menyingsing. Ia telah memasukinya di saat-saat
permulaan da'wah, yakni sebelum Rasulullah saw memasuki rumah Arqam dan
menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya
orang-orang Mu'min.
Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam. Abu
Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin
'Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa'ad bin Abi
Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada
keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi
bersama Abu Bakar Shiddiq menemui Rasulullah saw menyatakan bai'at dan
memikul bendera Islam.
Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur
75 tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai seorang mu'min yang
besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw memasukkannya dalam sepuluh orang
yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.
Dan Umar ra mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang
berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai
penggantinya, seraya katanya, "Rasulullah wafat dalam keadaan ridla
kepada mereka!"
Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menceritakan nasib
malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy. Dan sewaktu Nabi
saw, memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habsyi, Ibnu 'Auf ikut
berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua
kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah, ikut bertempur di
perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.
Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan
dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya, "Sungguh,
kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di
bawahnya emas dan perak!"
Perniagaan bagi Abdurrahman bin 'Auf ra bukan berarti rakus dan loba.
Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu
adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah
dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya.
Dan Abdurrahman bin 'Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya
dalam amal yang mulia di mana juga adanya. Apabila ia tidak sedang
shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan agama
tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat,
kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang
muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian
dan makanan.
Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika kaum Muslimin
hijrah ke Madinah. Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk
mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari Muhajirin warga
Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.
Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang
mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua
seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin,
sampai-sampai soal rumah tangga. Apabila ia beristeri dua orang
diceraikannya yang seorang untuk diperisteri saudaranya.
Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin 'Auf
dengan Sa'ad bin Rabi'. Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia
Anas bin Malik ra meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi "... dan
berkatalah Sa'ad kepada Abdurrahman, 'Saudaraku, aku adalah penduduk
Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan
aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik
perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya.'
Jawab Abdurrahman bin 'Auf, 'Moga-moga Allah memberkati anda, isteri dan
harta anda! Tunjukkanlah saja letaknya pasar agar aku dapat berniaga!'
Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana. Ia pun beroleh
keuntungan."
Kehidupan Abdurrahman bin 'Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw
maupun sesudah wafatnya terus meningkat. Barang apa saja yang ia pegang
dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh
usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal
di alam baqa kelak.
Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia
selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari
perbuatan haram bahkan yang syubhat. Seterusnya yang menambah kejayaan
dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri,
tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan
setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan
kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan
perlengkapan yang diperlukan tentara Islam.
Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah
keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin
'Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan nilai dan
jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul'alamin!
Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw bersabda, "Wahai ibnu 'Auf!
Anda termasuk golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara
perlahan-lahan! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah
mempermudah langkah anda!"
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan bagi
Allah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya
dengan berlipat ganda.
Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian uang itu
dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para
isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.
Diserahkannya pada suatu hari 500 ekor kuda untuk perlengkapan bala
tentara Islam, dan di hari yang lain 1500 kendaraan. Menjelang wafatnya
ia berwasiat 50.000 dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula
bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing
400 dinar, hingga Utsman bin Affan ra yang terbilang kaya juga mengambil
bagiannya dari wasiat itu, serta katanya, "Harta Abdurrahman bin 'Auf
halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkah."
Ibnu 'Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan
seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia
tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan
menyimpannya. Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan
yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tapi ikut
menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta
saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas
pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang, "Seluruh
penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin 'Auf pada hartanya.
Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya
untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan
dibagi-bagikannya kepada mereka."
Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada
dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu
kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu.
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena
waktu itu ia sedang shaum. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan
tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh,
"Mushab bin Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih
baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan
ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya
terbuka kepalanya! Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku,
ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat
baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia
seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil
sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahdukan
pahala kebaikan kami!"
Pada suatu peristiwa lain sebagian sahabatnya berkumpul bersamanya
menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di
hadapan mereka, ia pun menangis; karena itu mereka bertanya, "Apa
sebabnya anda menangis wahai Abu Muhammad?" Ujarnya, "Rasulullah saw
telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang
makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi
tidak menambah kebaikan bagi kita?"
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikitpun tidak
membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya! Sampai-sampai
dikatakan orang tentang dirinya, "Seandainya seorang asing yang belum
pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama
pelayan-pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya dari
antara mereka!"
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan ibnu
'Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahwa di badannya terdapat
dua puluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas
luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah
satu kakinya, sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud,
yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Di
waktu itulah orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan
tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel,
sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama
Abdurrahman bin 'Auf! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla
kepada Allah!
Sudah menjadi kebiasaan pada tabi'at manusia bahwa harta kekayaan
mengundang kekuasaan, artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung
untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat
gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan
mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan
oleh kekayaan.
Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin 'Auf dengan kekayaannya yang
melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai
tabi'at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak
ketinggian yang unik.
Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan
ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat
Rasulullah saw sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang di
antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.
Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Ibnu 'Auf. Bahkan
sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak
dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujarnya, "Demi Allah,
daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain
taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke
sebelah!"
Demikianlah, baru saja kelompok enam formatur itu mengadakan pertemuan
untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang
akan menggantikan al-Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya
yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang
dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang calon
yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk
melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja.
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah
menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka
itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin 'Auf
menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka
yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan, "Aku pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh
penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi!"
Oleh Ibnu 'Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan
yang lain pun menyetujui pilihannya.
Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! Apakah
sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di
atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana
ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?
Dan pada tahun 32 Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul
Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak
diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia
masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan
di pekarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar.
Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan
sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut!
Pula dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin
Madh'un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah
yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu.
Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya
meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata, "Sesungguhnya
aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang
melimpah ruah!"
Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman
tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberi cahaya serta
kebahagiaan yang menenteramkan jiwa. Ia memasang telinganya untuk
menangkap sesuatu, seolah-olah ada suara yang lernbut merdu yang datang
mendekat.
Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw yang pernah beliau
ucapkan, "Abdurrahman bin 'Auf dalam surga!", lagi pula ia sedang
mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya, "Orang-orang yang
membelanjakan hartanya dijalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi
apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit
pemberiannnya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka
beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; Mereka tidak usah merasa takut dan
tidak pula berdukacita." (QS Al-Baqarah [2]:262)
Abu Dzar Al-Ghifari - Sahabat dari Ghifar
Abu Dzar al-Ghifari merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal
dengan perbendaharaan ilmu pengetahuannya dan kesholehannya. Ali RA
berkata mengenai Abu Dzar RA: "Abu Dzar ialah penyimpan jenis-jenis ilmu
pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari orang lain."
Ketika dia mulai mendengar khabar tentang kerasulan Nabi SAW, dia telah
mengutus saudara lelakinya menyelidiki lebih lanjut mengenai orang yang
mengaku menerima berita dari langit. Setelah puas menyelidiki,
saudaranya pun melaporkan kepada Abu Dzar bahwa Nabi Muhammad SAW itu
seorang yang sopan santun dan baik budi pekertinya. Ayat-ayat yang
dibacakan kepada manusia bukannya puisi dan bukan pula kata-kata ahli
syair.
Laporan yang disampaikan itu masih belum memuaskan hati Abu Dzar. Dia
sendiri keluar untuk mencari kenyataan. Setibanya di Makkah, dia terus
ke Baitul Haram. Pada waktu itu dia tidak kenal Nabi SAW, dan melihat
keadaan pada waktu itu dia merasa takut hendak bertanya mengenai Nabi
SAW. Ketika menjelang malam, dia dilihat oleh Ali RA. Oleh karena ia
seorang musafir, Ali terpaksa membawa Abu Dzar ke rumahnya dan melayani
Abu Dzar sebaik-baiknya sebagai tamu. Ali tidak bertanya apapun dan Abu
Dzar tidak pula memberitahu Ali tentang maksud kedatangannya ke Makkah.
Pada keesokkan harinya, Abu Dzar pergi sekali lagi ke Baitul Haram untuk
mengetahui siapa dia Muhammad. Sekali lagi Abu Dzar gagal menemui Nabi
karena pada waktu itu orang-orang Islam sedang diganggu hebat oleh
orang-orang kafir musyrikin. Pada malam yang keduanya, Ali membawa Abu
Dzar ke rumahnya.
Pada malam itu Ali bertanya: "Saudara, apakah sebabnya saudara datang ke
kota ini?"
Sebelum menjawab Abu Dzar meminta Ali berjanji untuk berkata benar.
Kemudian dia pun bertanya kepada Ali tentang Nabi SAW. Ali berkata: "Sesungguhnya
dialah pesuruh Allah. Esok engkau ikut aku dan aku akan membawamu
menemuinya. Tetapi awas, bencana yang buruk akan menimpa kamu kalau
hubungan kita diketahui orang. Ketika berjalan esok, kalau aku dapati
bahaya mengancam kita, aku akan berpisah agak jauh sedikit dari kamu dan
berpura-pura membetulkan sepatuku. Tetapi engkau terus berjalan supaya
orang tidak curiga hubungan kita."
Pada keesokkan harinya, Ali pun membawa Abu Dzar bertemu dengan Nabi
SAW. Tanpa banyak tanya jawab, dia telah memeluk agama Islam. Karena
takut dia diapa-apakan oleh musuh, Nabi SAW menasehatkan supaya
cepat-cepat balik dan jangan mengabarkan keislamannya di khalayak ramai.
Tetapi Abu Dzar menjawab dengan berani: "Ya Rasullulah, aku bersumpah
dengan nama Allah yang jiwaku di dalam tanganNya, bahwa aku akan
mengucap dua kalimah syahadah di hadapan kafir-kafir musyrikin itu."
Janjinya kepada Rasulullah SAW ditepatinya. Selepas ia meninggalkan
baginda, dia mengarah langkah kakinya ke Baitul Haram di hadapan kaum
musyrikin dan dengan suara lantang dia mengucapkan dua kalimah syahadah.
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu pesuruh Allah."
Tatkala mendengar ucapan Abu Dzar itu, orang-orang kafir pun menyerbunya
lalu memukulnya. Kalau tidak karena Abbas, paman Nabi yang ketika itu
belum Islam, tentulah Abu Dzar menemui ajalnya di situ.
Kata Abbas kepada orang-orang kafir musyrikin yang menyerang Abu Dzar:
"Tahukah kamu siapa orang ini? Dia adalah turunan Al Ghifar.
Khafilah-khafilah kita yang pulang pergi ke Syam terpaksa melalui
perkampungan mereka. Kalaulah ia dibunuh, sudah tentu mereka menghalangi
perniagaan kita dengan Syam."
Pada hari berikutnya, Abu Dzar sekali lagi mengucapkan dua kalimah
syahadah di hadapan orang-orang kafir Quraisy dan pada kali ini juga ia
telah diselamatkan oleh Abbas.
Kegairahan Abu Dzar mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan kafir
Quraisy sungguh-sungguh luar biasa jika dikaji dalam konteks larangan
Nabi SAW kepadanya. Apakah dia bisa dituduh telah mengingkari perintah
Nabi? Jawabannya tidak. Dia tahu bahwa Nabi SAW sedang mengalami
penderitaan yang berbentuk gangguan dalam usahanya ke arah menyebarkan
agama Islam. Dia hanya hendak menunjukkan Nabi SAW walaupun ia
mengetahui, dengan berbuat demikian dia melibatkan dirinya dalam bahaya.
Semangat keislamannya yang beginilah yang telah menjadikan para sahabat
mencapai puncak keimanan dalam alam lahiriyah serta batiniyah.
Keberanian Abu Dzar ini selayaknya menjadi contoh kepada umat Islam
dewasa ini dalam rangka usaha mereka menjalankan dakwah Islamiyah.
Kekejaman, penganiyaan serta penindasan tidak semestinya bisa melemahkan
semangat mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah.
Abu Hurairah - Otaknya Gudang Pengetahuan
(1)
Abu Hurairah, Bapak Kucing Kecil
Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah
(bulan Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi malam harinya dengan
membaca Al-Quran dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan, dia sering
mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia
dikenal paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah Bapak Kucing Kecil (Abu
Hurairah), begitu orang mengenalnya. Kenapa ia dikenal sebagai "Bapak
Kucing"? Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi ibn Shakhr Ad-Dausi,
dan tatkala ia memeluk Islam, ia diberi nama oleh Rasul dengan
Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor
kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan
diberinya tempat. Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayang
bayangnya. Inilah sebabnya ia diberi gelar "Bapak Kucing".
Penghafal Hadits Terbesar Sepanjang Masa
Kadangkala kepintaran manusia itu mempunyai akibat yang merugikan
dirinya sendiri. Dan orang-orang yang mempunyai bakat-bakat istimewa,
banyak yang harus membayar mahal, justru pada waktu ia patut menerima
ganjaran dan penghargaan.
Shahabat mulia Abu Hurairah termasuk salah seorang dari mereka. Sungguh
dia mempunyai bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan. Abu
Hurairah r.a. mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang
didengarnya, sedang ingatannya mempunyai keistimewaan dalam segi
menghafal dan menyimpan. Didengarya, ditampungnya lalu terpatri dalam
ingatannya hingga dihafalkannya, hampir tak pemah ia melupakan satu kata
atau satu huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia
bertambah dan masa pun telah berganti-ganti. Oleh karena itulah, ia
telah mewakafkan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah
sehingga termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, serta
meriwayatkannya.
Sewaktu datang masa pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membikin
hadits-hadits bohong dan palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah saw
mereka memperalat nama Abu Hurairah dan menyalahgunakan ketenarannya
dalam meriwayatkan Hadits dari Nabi saw , hingga sering mereka
mengeluarkan sebuah "hadits", dengan menggunakan kata-kata: -- "Berkata
Abu Hurairah... "
Dengan perbuatan ini hampir-hampir mereka menyebabkan ketenaran Abu
Hurairah dan kedudukannya selaku penyampai Hadits dari Nabi saw menjadi
lamunan keragu-raguan dan tanda tanya, kalaulah tidak ada usaha dengan
susah payah dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah
di habiskan oleh tokoh-tokoh utama para ulama Hadits yang telah
membaktikan hidup mereka untuk berhidmat kepada Hadits Nabi dan
menyingkirkan setiap tambahan yang dimasukkan ke dalamnya.
Di sana Abu Hurairah berhasil lolos dari jaringan kepalsuan dan
penambahan-penambahan yang sengaja hendak diselundupkan oleh kaum
perusak ke dalam Islam, dengan mengkambing hitamkan Abu Hurairah dan
membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya.
Setiap anda mendengar muballigh atau penceramah atau khatib Jum'at
mengatakan kalimat yang mengesankan dari Abu Hurairah r.a berkata ia,
telah bersabda Rasulullah saw.." Saya katakan ketika anda mendengar nama
ini dalam rangkaian kata tersebut, dan ketika anda banyak menjumpainya,
yah banyak sekali dalam kitab-kitab Hadits, sirah, fiqih serta
kitab-kitab Agama pada umumnya, maka diketahuilah bahwa anda sedang
menemui suatu pribadi, antara sekian banyak pribadi yang paling gemar
bergaul dengan Rasulullah dan mendengarkan sabdanya. Karena itulah
perbendaharaannya yang menakjubkan dalam hal Hadits dan
pengarahan-pengarahan penuh hikmat yang dihafalkannya dari Nabi saw
jarang diperoleh bandingannya. Dan dengan bakat pemberian Tuhan yang
dipunyainya beserta perbendaharaan Hadits tersebut, Abu Hurairah
merupakan salah seorang paling mampu membawa anda ke hari-hari kehidupan
Rasulullah saw beserta para sahabatnya dan membawa anda berkeliling,
asal anda beriman teguh dan berjiwa siaga, mengitari pelosok dan
berbagai ufuk yang membuktikan kehebatan Muhammad saw beserta
shahabat-shahabatnya itu dan memberikan makna kepada kehidupan ini dan
memimpinnya ke arah kesadaran dan pikiran sehat. Dan bila garis-garis
yang anda hadapi ini telah menggerakkan kerinduan anda untuk mengetahui
lebih dalam tentang Abu Hurairah dan mendengarkan beritanya, maka
silakan anda memenuhi keinginan anda tersebut.
Ia adalah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan
segala perubahan mengagumkan yang diciptakannya. Dari orang upahan
menjadi induk semang atau majikan.
Dari seorang yang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia,
menjadi imam dan ikutan! Dan dari seorang yang sujud di hadapan
batu-batu yang disusun, menjadi orang yang beriman kepada Allah yang
Maha Esa lagi Maha Perkasa. Inilah dia sekarang bercerita dan berkata: "Aku
dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin.
Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk
mengisi perutku! Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang
menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian.
Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka
segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak,
dan menjadikan Abu Hurairah ikutan ummat.!"
Islamnya Abu Hurairah
Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Dia lahir di Daus,
sebuah desa miskin di padang pasir Yaman. Hidup di tengah kabilah Azad,
ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala
kambing.
Ia datang kepada Nabi saw di tahun yang ke tujuh Hijrah sewaktu beliau
berada di Khaibar ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan
kerinduan. Dan semenjak ia bertemu dengan Nabi Saw; dan berbai'at
kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi daripadanya kecuali pada
saat-saat waktu tidur . Begitulah berjalan selama masa empat tahun yang
dilaluinya bersama Rasulullah saw yakni sejak ia masuk islam sampai
wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi. Kita katakan: "Waktu yang
empat tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar,
penuh dengan segala yang baik, dari perkataan, sampai kepada perbuatan
dan pendengaran!'
Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat kesempatan yang besar
yang memungkinkannya untuk memainkan peranan penting dalam berbakti
kepada Agama Allah.
Pahlawan perang dikalangan shahabat, banyak. Ahli fiqih, juru da'wah dan
para guru juga tidak sedikit. Tetapi lingkungan dan masyarakat
memerlukan tulisan dan penulis. Di masa itu golongan manusia pada
umumnya,jadi bukan hanya terbatas pada bangsa Arab saja, tidak
mementingkan tulis menulis. Dan tulis menulis itu belum Lagi merupakan
bukti kemajuan di masyarakat manapun.
Bahkan Eropah sendiri juga demikian keadaannya sejak kurun waktu yang
belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajnya, tidak terkecuali
Charlemagne sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang yang buta huruf,
tak tahu tulis baca, padahal menurut ukuran masa itu, mereka memiIiki
kecerdasan dan kemampuan besar.
Kembali kita pada pembicaraan bermula untuk melihat Abu Hurairah,
bagaimana ia dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru
yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat
melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Pada waktu itu
memang para shahabat yang mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit
sekali, apalagi sebagiannya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat
Hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasul.
Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli
hafal yang mahir, di samping memiliki kesempata atau mampu mengadakan
kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan
digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus.
Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam
belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan cara
mengikuti Rasul terus menerus dan secara tetap menyertai majlisnya.
Kemudian disadarinya pula adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya,
berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, serta semakin bertambah kuat,
tajam dan luas lagi dengan do'a Rasul "", agar pemilik bakat ini diberi
Allah berkat.
Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi
untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat
penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian.
Abu Hurairah bukan tegolong dalam barisan penulis, tetapi sebagaimana
telah kita utarakan, ia adalahseorang yang terampil menghafal lagi kuat
ingatan. Karena ia tak punya tanah yang akan ditanami atau perniagaan
yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah hengan Rasul, baik dalam
perjalanan maupun di kala menetap.
Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk
menghafal Hadits-hadits Rasulullah saw dan pengarahannya. Sewaktu Rasul
telah pulang ke Rafikul'Ala (wafat), Abu Hurairah terus-menerus
menyampaikan hadits-hadits, yang menyebabkan sebagian shahabatnya merasa
heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya
hadits-hadits ini, kapan didengarya dan diendapkannya dalam ingatannya.
Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan
ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari putra shahabatnya, maka
katanya: "Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali
mengeluarkan hadits dari Nabi saw. Dan tuan-tuan katakan pula
orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada
menceritakan hadits-hadits itu? Ketahuilah, bahwa shahabat-sahahabatku
orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di
pasar-pasar, sedang shahabat-shahabatku orang-orang Anshar sibuk degan
tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling
banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain
absen. Dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.
Dan Nabi saw pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau: "Siapa
yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicraanku, kemudian ia
meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa
yang telah didengarya dari padaku!"
Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih
kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa
bagiku dari apa yang telah kudengar daripadanya! Demi Allah kalau
tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan
kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun! Ayat itu ialah:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami
turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah Kami
nyatakan kepada manusia di dalam Kitab mereka itulah yang dikutuk oleh
Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (Malaikat-malaikat) !"
Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang
diri yang banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah saw. Yang pertama:
karena ia melowongkan waktu untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para
shahabat lainnya.
Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah diberi
berkat oleh Rasul, hingga ia jadi semakin kuat. Ketiga, ia
menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan
bahwa menyebarluaskan hadits-hadits ini, merupakan tanggung jawabnya
terhadap Agama dan hidupnya. Kalau tidak dilakukannya berarti ia
menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalai yang
sudah tentu akan menerima hukuman kelalaiannya!
Oleh sebab itulah ia harus saja memberitakan, tak suatupun yang
menghalanginya dan tak seorang pun boleh melarangnya, hingga pada suatu
hari Amirul Mu'minin Umar berkata kepadanya: "Hendaklah kamu hentikan
menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka akan kukembalikan
kau ke tanah Daus. !" (yaitu tanah kaum dan keluarganya).
Tetapi larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah,
hanyalah sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar,
yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tersebut, tidak membaca
dan menghafalkan yang lain, kecuali Al-Quran sampai ia melekat dan
mantap dalam hati sanubari dan pikiran.
Al-Quran adalah kitab suci Islam, Undang-undang Dasar dan kamus
lengkapnya dan terlalu banyaknya cerita tentang Rasulullah saw
teristimewa lagi pada tahun-tahun menyusul wafatnya Nabi saw, saat
sedang dihimpunnya Al-Quran, dapat menyebabkan kesimpangsiuran dan
campur-baur yang tidak berguna dan tak perlu terjadi!
Oleh karena ini, Umar berpesan: "Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran
karena dia adalah kalam Allah." Dan katanya lagi: "Kurangilah olehmu
meriwayatkan perihal Rasulullah kecuali yang mengenai amal
perbuatannya!"
Dan sewaktu beliau mngutus Abu Musa al-Asy'ari ke Irak ia berpesan
kepadanya: "Sesungguhnya anda akan mendatangi suatu kaum yang dalam
mesjid mereka terdengar bacaan Al-Quran seperti suara lebah. maka
biarkanlah seperti itu dan jangan anda bimbangkan mereka dengan
hadits-hadits, dan aku menjadi pendukung anda dalam hal ini!"
Al-Qur'an sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga
terjamin keasliannya tanpa dirembesi oleh hal-hal lainnya. Adapun hadits,
maka Umar tidak dapat menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahan
atau diambilnya sebagai alat untuk mengada-ada terhadap Rasulullah SAW
dan merugikan Agama Islam.
Abu Hurairah menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya terhadap
dirinya dan teguh memenuhi amanat, hingga ia tak hendak menyembunyikan
suatu pun dari Hadits dan ilmu selama diyakininya bahwa
menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.
Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa
Hadits yang pernah didengar dan ditangkapnya tetap saja disampaikan dan
dikatakannya.
Hanya terdapat pula suatu hal yang merisaukan, yang menimbulkan
kesulitan bagi Abu Hurairah ini, karena seringnya ia bercerita dan
banyaknya Haditsnya yaitu adanya tukang hadits yang lain yang
menyebarkan Hadits-hadits dari Rasul saw dengan menambah-nambah dan
melebih-lebihkan hingga para shahabat tidak merasa puas terhadap
sebagian besar dari Hadits-haditsnya. Orang itu namanya Ka'ab al-Ahbaar,
seorang Yahudi yang masuk Islam.
Pada suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal
dari Abu Hurairah. Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya,
lalu dimintanya untuk mengabarkan hadits-hadits dari Rasulullah saw.
Sementara itu disuruhnya penulisnya menuliskan apa yang diceritakan Abu
Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya
Abu Hurairah kembali dan dimintanya membacakan lagi Hadits-hadits yang
dulu itu yang telah ditulis sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa
oleh Abu Hurairah walau sepatah kata pun!
Ia berkata tentang dirinya, -- "Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat
Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali Abdullah
bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak." Dan
Imam Syafi'i mengemukakan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah: -- "la
seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi Hadits
sesamanya." Sementara Imam Bukhari menyatakan pula: --"Ada delapan ratus
orang atau lebih dari shahabat tabi'in dan ahli ilmu yang meriwayatkan
Hadits dari Abu Hurairah."
Demikianlah Abu Hurairah tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang
telah ditaqdirkan kelestarian dan keabadiannya.
Abu Hurairah termasuk orang ahli ibadat yang mendekatkan diri kepada
Allah, selalu melakukan ibadat bersama isterinya dan anak-anaknya
semalam-malaman secara bergiliran; mula-mula ia berjaga sambil shalat
sepertiga malam kemudian dilanjutkan oleh isterinya sepertiga malam dan
sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh puterinya. Dengan demikian, tak ada
satu saat pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, melainkan
berlangsung di sana ibadat, dzikir dan shalat!
Abu Ubaidah Bin Jarrah - Pemegang Amanat
Umat Dan Rasulullah
Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, "Setiap umat mempunyai
sumber kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin
Jarrah." Itulah penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu
Ubaidah dari Rasulullah saw. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah
kepada sahabat yang lainnya. Tapi ini bukan berarti, bahwa Rasulullah
saw tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau dilihat dari
kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu.
Sekalipun ia tidak mengharapkannya. Dari sosok tubuhnya yang tinggi,
kurus tapi bersih, tampak disana tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak
dimiliki orang lain. Jujur, tawadu', pemalu itulah diantara sifat yang
paling menonjol dari Abu 'Ubaidah bin Jarrah r.a. Muhammad bin Ja'far
pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui
Rasulullah saw. "Ya Abalqasim," kata utusan itu, "Datangkanlah utusanmu
ke negeri kami untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi.
Kami betul-betul ridha dan yakin terhadap kaum muslimin." Rasulullah
menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka seraya berkata, "Esok hari
aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar terpercaya,
benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya." Rasululah menyebut "amin"
(terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.
Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat ra.
Masing-masing ingin ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi utusan.
Umar ra mengungkapkan, "Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk
Rasulullah saw untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat
kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku untuk menduduki
jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari seseorang,
sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, "Wahai Abu Ubaidah,
pergilah engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan
hukum-hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka
perselisihkan." Itulah mulianya ahklak Abu Ubaidah bin Jarrah.
Masuk kedalam shaff da'wah Islamiyah.
Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan
dekatnya untuk mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan
Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu
Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin
'Auf, Ustman bin Maz'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah
saw. Di depan Rasulullah saw mereka sama-sama mengucapkan kalimat
syahadah.
Pengorbanan
Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh
apa yang dia miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan
setengah atau pun sebahagiannya. Harta, tenaga dan raga beliau
persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya akan dia infakkan,
kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa
yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda
yang gagah berani yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit
sekali untuk di kalahkan.
Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan
sahabat yang satu ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah saw. Ini
bisa terlihat di dalam perjuangannya membela Islam. Dimana saat
terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan, memerangi tentara
musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah
kandungnya yang masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan
ketemu bapaknya ditengah-tengah kancah peperangan.
Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara
Qabilah atau peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan
tetapi adalah peperangan antara hizbullah(tentara Allah) dengan
hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang haq dengan
bathil, yang tidak mungkin disatukan selamamatahari masih terbit dari
sebelah timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah
perlawanan antara sang anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya
ayah kandung di depan matanya sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya:
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan
mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung." (QS Al Mujadilah: 22).
Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau
sepenuhnya untuk Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum
kerabat, kalau Islam yang berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang
bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq ataupun sebalikn
Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh
sehingga gigi depannya retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata
rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu Bakar kasihan dan ingin
mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. "Biarkan itu bagian
saya," pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan
Rasulullah pasti kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi
depannya. Disaat mata rantai pertama tercabut, giginya masih utuh dan
kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua giginya pun ikut tercabut
juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, "Sebaik-baik gigi yang
terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah."
Perjuangan
Jabir bin Abdullah pernah bercerita, "Suatu ketika Rasullah saw.mengutus
kami dalam suatu peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Kami hanya dibekali sekarung korma untuk tiga ratus orang. Padahal
perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir yang luas dan tandus.
Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu
Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma.
Namun disaat bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan
satu korma untuk satu orang.
Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat
kami dalam melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis,
badan terasa letih, capek dan lapar. Namun perjalanan masih jauh.
Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba disaat kami
betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati,
mula-mula Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi,
karena keadaan sudah memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu
kami melanjutkan perjalanan."
Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan
Umar bin Khattab. Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan
pertanyaan kepada para sahabat, "Tunjukkan kepada saya cita-cita
tertinggi kalian." Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan
berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas,
akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah."
Umarpun mengulangi pertanyaannya, "Apa masih ada yang lebih baik dari
itu?", lantas sahabat yang lainpun menjawab, "Wahai Amirulmukminin
sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya
akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah." Umar bin Khattab kembali
bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab, "Wahai
Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu." Umar bin
Khathab kemudian menjelaskan, "Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya
ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin
Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."
Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, "Kalau Abu Ubaidah
masih hidup maka aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan
bila kelak Allah swt bertanya tentang apa sebabnya, maka aku akan
menjawabnya, 'Aku memilih dia karena dia seorang pemegang amanat umat
dan pemegang amanat Rasulullah.'"
Demikianlah sosok kepribadian sahabat kita yang satu ini. Ia tidak
pernah mundur dalam memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu,
dan jiwanya ia korbankan demi Islam dan kejayaan umatnya.
Radhiyallahu 'anhu wardhahu.
Amr Ibnul Jamuh
"Dengan cacat pincangku ini, aku bertekad
merebut surga...!"
Ia adalah ipar dari Abdullah bin Amr bin Haram, karena menjadi suami
dari saudara perempuan Hindun binti Amar; Ibnul Jamuh merupakan salah
seorang tokoh penduduk Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah...
Ia didahului masuk Islam oleh putranya Mu'adz bin Amr yang termasuk
kelompok 70 peserta bai'at 'Aqabah. Bersama shahabatnya Mu'adz bin Jabal,
Mu'adz bin Amr ini menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah
dengan keberanian luar biasa sebagai layaknya pemuda Mu'min yang gagah
perwira...
Telah menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madinah, menyediakan
di rumah masing~masing duplikat berhala-berhala besar yang terdapat di
tempat-tempat pemujaan umum yang dikunjungi oleh orang banyak. Maka
sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin Amru
bin Jamuh juga mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf.
Putranya, Mu'adz bin Amr bersama temannya Mu'adz bin Jabal telah
bermufakat akan menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang
permainan dan penghinaan. Di waktu malam mereka menyelinap ke dalam
rumah, lain mengambil berhala itu dan membuangnya ke dalam lubang yang
biasa digunakan manusia untuk membuang hajatnya.
Pagi harinya Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa,
maka dicarinyalah berhala itu dan akhirnya ditemukannya di tempat
pembuangan hajat. Bukan main marahnya Amr, lalu bentaknya: "Keparat
siapa yang telah melakukan perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita
malam tadi...?" Kemudian dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan
dibelinya wangi-wangian.
Malam berikutnya, berdua Mu'adz bin Amr dan Mu'adz bin Jabal
memperlakukan berhala itu seperti pada malam sebelumnya. Demikianlah
pula pada malam-malam selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan,
Amar mengambil pedangnya lalu menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata:
''Jika kamu betul-betul dapat memberikan kebaikan, berusahalah untuk
mempertahankan dirimu ... !''
Pagi-pagi keesokan harinya Amr tidak menemukan berhalanya di tempat
biasa... tetapi ditemukannya di tempat pembuangan hajat, dan tidak
sendirian, berhala itu terikat bersama bangkai seekar aniing dengan tali
yang kuat. Selagi ia dalam keheranan, kekecewaan serta amarah, tiba-tiba
datangtah ke tempatnya itu beberapa orang hangsawan Madinah yang telah
masuk Islam. Sambil menunjuk kepada berhala yang tergeletak tidak
berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu, mereka mengajak akal budi
dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta membeberkan
kepadanya perihal Tuhan yang sesungguhnya, Yang Maha Agung lagi Maha
Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya. Begitupun tentang Muhammad
saw, orang yang jujur dan terpercaya, yang muncul di arena kehidupan ini
untuk memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan
untuk menyesatkan. Dan mengenai Agama Islam yang datang untuk
membebaskan manusia dari belenggu segala macam belenggu dan menghidupkan
pada mereka ruh Allah serta menerangi dalam hati mereka dengan
cahaya-Nya.
Maka dalam beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya...
Beberapa saat kemudian ia pergi, dibersihkahnya pakaian dan badannya
lalu memakai minyak wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening
tegak dan jiwa bersinar ia pergi untuk bai'at kepada Nabi teiakhir, dan
menempati kedudukannya di barisan orang-orang beriman.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh,
yang merupakan pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa
mereka sampai mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa? Kenapa
akal fikiran mereka tak dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan
ketololan itu? Dan kenapa sekarang ini, setelah mereka menganut Islam
dan memberikan pengurbanan, kita menganggap mereka sebagai orang-orang
besar?
Di masa sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, karena
bagi anak kecil sekalipun tak masuk dalam akalnya akan mendirikan di
rumahnya barang yang terbuat dari kayu lalu disembahnya, walaupun masih
ada para ilmuwan yang menyembah patung.
Tetapi di zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka
luas untuk menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana
kecerdasan dan daya fikir mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi
kuno tersebut.
Sebagai contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di
masa Perikles, Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai
tingkat berfikir yang menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para
filosof, tokoh-tokoh pemerintahan sampai kepada rakyat biasa,
mempercayai patung-patung yang dipahat, dan memujanya sampai taraf yang
amat hina dan memalukan! Sebabnya ialah karena rasa keagamaan di
masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak mencapai garis yang
sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka.
Amr ibnul Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah
Rabbul-Alamin. Dan walaupun dari semula ia telah berbai'at pemurah dan
dermawan, tetapi Islam telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga
seluruh harta kakayaannya diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan
seperjuangannya.
Pernah Rasulullah saw menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu
suku Amr ibnul Jamuh, katanya: "Siapakah yang menjadi pemimpin kalian,
hai Bani Salamah?" Ujar mereka: "Al-Jaddu bin Qeis, hanya sayang ia
kikir...". Maka sabda Rasulullah pula: "Apa lagi penyakit yang lebih
parah dari kikir! Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting,
Amr ibnul Jamuh...!'' Demikianlah kesaksian dari Rasulullah saw ini
merupakan penghormatan besar bagi Amr! Dan mengenai ini seorang penyair
Anshar pernah berpantun:
"Amr ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya merajalela, dan memang
wajar, bila ia dibiarkan berkuasa, jika datang permintaan, dilepasnya
kendali hartanya, silakan ambil, ujarnya, karena esok ia akan kembali,
berlipat ganda!"
Dan sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka
Amr ibnul Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan
jiwa raganya! Tetapi betapa caranya? Kakinya yang pincang menjadi
penghadang badannya untuk ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat
orang putra, semuanya beragama islam dan semuanya satria bagaikan singa,
dan ikut bersama Nabi saw dalam setiap peperangan serta tabah dalam
menunaikan tugas perjuangan.
Amr telah berketetapan hati dan telah menyiapkan peralatannya untuk
turut dalam perang Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar
ia mengurungkan maksudnya dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa
dengan larangan dari Nabi.
Nabi pun menyampaikan kepada Amr bahwa Islam membebaskan dirinya dari
kewajiban perang, dengan alasan ketidakmampuan disebabkan cacad kakinya
yang berat itu. Tetapi ia tetap mendesak dan minta diizinkan, hingga
Rasulullah terpaksa mengeluarkan perintah agar ia tetap tinggal di
Madinah.
Kemudian datanglah Masanya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw,
memohon kepadanya agar diizinkan turut, katanya: "Ya Rasulallah,
putra-putraku bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama
anda. Demi Allah, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku
dapat merebut surga!''
Karena permintaannya yang amat sangat, Nabi saw memberinya izin untuk
turut. Maka diambilnya alat-alat senjatanya, dan dengan hati yang
diliputi oleh rasa puas dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat. Dan
dengan suara beriba-iba ia memohon kepada Allah: "Ya Allah, berilah aku
kesempatan untuk menemui syahid, dan janganlah aku dikembalikan kepada
keluargaku!"
Dan kedua pasukan pun bertemulah di hari uhud itu. Amr ibnul Jamuh
bersama keempat putranya maju ke depan menebaskan pedangnya kepada
tentara penyeru kesesatan dan pasukan syirik.
Di tengah-tengah pertarungan yang hiruk-pikuk itu Amr melompat dan
bersijingkat, dan sekali lompat pedangnya menyambar satu kepala dari
kepala-kepala orang musyrik. Ia terus melepaskan pukulan-pukulan
pedangnya ke kiri ke kanan dengan tangan kanannya, sambil menengok ke
sekelilingnya, seolah-olah mengharapkan kedatangan Malaikat dengan
secepatnya yang akan menemani dan mengawalnya masuk surga.
Memang, ia telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid dan ia yakin
bahwa Allah swt pastilah akan mengabulkannya. Dan ia rindu, amat rindu
sekali akan berjingkat dengan kakinya yang pincang itu dalam surga, agar
ahli surga itu sama mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw itu tahu
bagaimana caranya memilih shahabat dan bagaimana pula mendidik dan
menempa manusia.
Dan apa yang ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang
yang berkelebat, memaklumkan datangnya saat keberangkatan, yakni
keberangkatan seorang syahid yang mulia, menuju surga jannatul khuldi,
surga Firdausi yang abadi!
Dan tatkala Kaum Muslimin memakamkan para syuhada mereka, Rasulullah saw
mengeluarkan perintah:
"Perhatikan, tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul
Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup mereka adalah dua orang
shahabat yang setia dan saling menyayangi!"
Kedua shahabat yang saling menyayangi dan telah menemui syahid itu
dikuburkan dalam sebuah makam, yakni dalam pangkuan tanah yang menyambut
jasad mereka yang suci setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar
biasa.
Dan setelah waktu berlalu selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan
mereka, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah
pekuburan disebabkan digalinya sebuah mata air yang dialirkan Muswiyah
melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun segera memindahkan kerangka para
syuhada.
Kiranya mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan
mereka: "Jasad mereka menjadi lembut, dan ujung-ujung anggota tuhuh
mereka jadi melengkung!"
Ketika itu Jabir bin Abdullah masih hidup. Maka bersama keluarganya ia
pergi memindahkan kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta
kerangka bapak kecilnya Amr ibnul Jamuh... Kiranya mereka dapati kedua
mereka dalam kubur seolah-olah sedang tidur nyenyak. Tak sedikit pun
tubuh mereka dimakan tanah, dan dari kedua bibir masing-masing belum
hilang senyuman manis alamat ridha dan bangga yang telah terlukis
semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu.
Apakah anda sekalian merasa heran? Tidak, janganlah merasa heran! Karena
jiwa-jiwa besar yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah
tujuan hidupnya, membuat tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat
kediamannya, memiliki semacam ketahanan yang dapat menangkis sebab-sebab
kelapukan dan mengatasi bencana-bencana tanah.
Hamzah Bin Abdul Mutthalib - Singa Allah
Thabarani telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata: Adalah
Hamzah bin Abdul Mutthalib r.a. pada hari pertempuran di Badar membuat
tanda dengan bulu burung Na'amah (Bangau). Sesudah selesai peperangan,
maka seorang dari kaum Musyrikin bertanya: Siapa orang yang bertanda
dengan bulu burung Na'amah itu? Maka orang berkata: Dialah Hamzah bin
Abdul Mutthalib. Sambut orang itu lagi: Dialah orang yang banyak memalu
kita di dalam peperangan itu. (Majma'uz Zawa'id 6:81)
Bazzar mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf ra. dia berkata: Bertanya
Umaiyah bin Khalaf kepadanya: Hai Abdullah! Siapa orang yang memakai
bulu burung Na'amah di dadanya pada perang Badar itu? jawabku: Dia itu
paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib ra. Berkata lagi
Umaiyah bin Khalaf: Dialah orang yang banyak memalu kita dengan
senjatanya sehingga dia dapat membunuh ramai di antara kita. (Majma'uz
Zawa'id 6:81)
Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra. dia berkata:
Rasulullah SAW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai
peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana Hamzah?
Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia berperang di
bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku singa Allah, dan
singa RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang
dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraisy.
Dan aku memohon uzur kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan
kekalahan mereka, yakni tentera Islam yang melarikan diri! Lalu
Rasulullah SAW pun menuju ke tempat itu, dan didapati Hamzah telah gugur.
Bila Beliau melihat dahinya, Beliau menangis, dan bila melihat mayatnya
dicincang-cincang, Beliau menarik nafas panjang. Kemudian Beliau berkata:
Tidak ada kain kafan buatnya?! Maka segeralah seorang dari kaum Anshar
membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa
Rasulullah SAW telah berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid
nanti di sisi Allah pada hari kiamat. (Hakim 3:199)
Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru bin Umaiyah
Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar
pada zaman Mu'awiyah ra... dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk
bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata kepadanya: Kami
datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh
Hamzah ra. Wahsyi bercerita: Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagai
mana aku sudah memberitahu dahulu kepada Rasulullah SAW ketika Beliau
bertanya ceritanya dariku.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth'im, dan
pamannya yang bernama Thu'aimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang
Badar. Apabila kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud, Jubair
berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad
untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau akan aku
merdekakan. Bila tentera Quraisy keluar ke medan Uhud, aku turut keluar
bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir untuk melempar
pisau bengkok, dan sebagaimana biasanya orang Habsyi, jarang-jarang
tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah pihak
bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk
kujadikan sasaranku, sehingga aku melihatnya di antara orang yang
bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan
pedangnya segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang
dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku
lalu bersembunyi di balik batu berdekatan dengan pohon yang dia sedang
bertarung, sehingga apabila dia datang berdekatan denganku, mudahlahlah
aku melemparkan pisau racunku itu.
Tatkala dia dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya Sibak
bin Abdul Uzza. Apabila Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, dia
berteriak: Mari ke sini, siapa yang hendak mencari maut! Dipukulnya
dengan sekali pukulan kepalanya terus berguling di tanah. Maka pada
ketika itulah, aku terus mengacung-acungkan pisau bengkokku itu, dan
apabila aku rasa sudah tepat sasaranku, aku pun melemparnya kepada
Hamzah mengenai bawah perutnya terus rnenembusi bawah selangkangnya. Dia
mencoba hendak menerkamku, tetapi dia sudah tidak berdaya lagi, aku lalu
meninggalkannya di situ sehinggalah dia mati. Kemudian aku kembali lagi
untuk mengambil pisau bengkokku itu, dan aku membawanya ke perkemahan
kami. Aku duduk di situ menunggu, dan aku tidak punya hajat yang lain,
selain dari hendak membunuh Hamzah agar aku dapat dimerdekakan oleh
tuanku.
Apabila kami kembali ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh tuanku, aku
dimerdekakan. Aku terus tinggal di Makkah. Dan apabila kota Makkah
ditakluki oleh Rasulullah SAW aku pun melarikan diri ke Tha'if dan
menetap di sana. Apabila rombongan orang-orang Tha'if bersiap-siap
hendak menemui Rasulullah SAW untuk memeluk Islam, aku merasa serba
salah tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Aku berfikir, apakah aku
harus melarikan diri ke Syam, atau ke Yaman, ataupun ke negeri-negeri
lainnya, sampai kapan aku akan menjadi orang buruan?! Demi Allah, aku
merasakan diriku susah sekali. Tiba-tiba ada orang yang datang kepadaku
memberi nasehat: Apa yang engkau susahkan? Muhammad tidak membunuh orang
yang masuk ke dalam agamanya, dan menyaksikan syahadat kebenaran! Aku
tidak ada jalan melainkan menerima nasehat itu. Aku pun menuju ke
Madinah untuk menemui Rasulullah SAW Memang tiada disangka-sangkanya
melainkan dengan tiba-tiba Beliau melihatku berdiri di hadapannya
menyaksikan syahadat kebenaran itu. Beliau lalu menoleh kepadaku seraya
berkata: Apakah engkau ini Wahsyi? Jawabku: Saya, wahai Rasulullah!
Beliau berkata lagi: Duduklah! Ceritakanlah bagaimana engkau rnembunuh
Hamzah?! Aku lalu menceritakan kepadanya seperti aku menceritakan
sekarang kepada kamu berdua.
Apabila selesai bercerita, Beliau berkata kepadaku: Awas! Jangan lagi
engkau datang menunjukkan wajahmu kepadaku! Kerana itu aku terus-menerus
menjauhkan diri dari Rasulullah SAW supaya Beliau tidak melihat wajahku
lagi, sehinggalah Beliau wafat meninggalkan dunia ini. Kemudian apabila
kaum Muslimin keluar untuk berperang dengan Musailimah Al-Kazzab,
pemimpin kaum murtad di Yamamah, aku turut keluar untuk berperang
dengannya. Aku bawa pisau bengkok yang membunuh Hamzah itu. Ketika orang
sedang gawat bertempur, aku mencuri-curi masuk dan aku lihat Musailimah
sedang berdiri dan di tangannya pedang yang terhunus, maka aku pun
membuat persiapan untuk melemparnya dan di sebelahku ada seorang dari
kaum Anshar yang sama tujuan denganku. Aku terus mengacung-acungkan
pisau itu ke arahnya, dan apabila aku rasa sudah boleh mengenai
sasarannya, aku pun melemparkannya, dan mengenainya, lalu orang Anshar
itu menghabiskan hidupnya dengan pedangnya. Aku sendiri tidak memastikan
siapa yang membunuh Musailimah itu, apakah pisau bengkokku itu, ataupun
pedang orang Anshar tadi, hanya Tuhan sajalah yang lebih mengetahui.
Jika aku yang membunuhnya, maka aku telah membunuh orang yang terbaik
pada masa hayat Rasulullah SAW dan aku juga sudah membunuh orang yang
paling jahat sesudah hayat Beliau. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)
Bukhari telah mengeluarkan dari Ja'far bin Amru sebagaimana cerita yang
sebelumnya, cuma apabila orang ramai berbaris untuk berperang, lalu
keluarlah Sibak seraya menjerit: Siapa yang akan melawanku? Hamzah pun
keluar untuk melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya: Hai Sibak! Hai
putera Ummi Anmar, tukang sunnat orang perempuan! Apakah engkau hendak
melawan Allah dan RasulNya? Hamzah lalu menghantamnya dengan suatu
pukulan yang keras menghabiskannya.
Hatib Ibnu Balta'ah - Pernah Mengkhianati
Rasulullah
Di Makkah ia tidak mempunyai kedudukan yang tinggi karena ia bukan dari
keluarga bangsawan, juga bukan dari keluarga pembesar, bukan hartawan
dan bukan pedagang. Tujuan hidupnya yang utama adalah mencintai Allah
dan Rasul-Nya, dan itu telah memberinya kemuliaan dan kehormatan. Di
antara penghormatan Rasulullah SAW kepada Hatib yaitu baginda SAW telah
mengutus ia agar datang kepada Al-Muqauqis, seorang pembesar suku Qibti
dari Mesir, untuk menyampaikan surat Rasulullah yang isinya menyeru pada
Al-Muqauqis ke dalam Islam.
Setelah Al-Muqauqis membaca surat baginda tersebut dengan cermat, ia
memandang Hatib dan bertanya padanya: "Bukankah sahabatmu itu seorang
Nabi?" Jawab Hatib. "Benar, Baginda adalah utusan Allah." Mendengar
jawaban Hatib, Al-Muqauqis mengirimkan beberapa hadiah kepada Rasulullah
SAW di antara hadiah itu seorang hamba wanita bernama Mariyah Al-Qibtiyah.
Hatib Ibnu Balta'ah adalah seorang penduduk Yaman, ia adalah sahabat
Zubair Ibnu Awwam. Ketika ia berhijrah ke Madinah, ia meninggalkan anak
dan saudara-saudaranya. Pada masa jahiliyah, ia seorang penunggang kuda
yang berani dan penyair ulung. Bait-bait syairnya sering disebarkan oleh
para perawi dan dilagukan para kafilah dagang Arab. Ia masuk Islam
ketika ia masih muda belia. Dan ia sangat tekun mempelajari syariat
Islam dan ajarannya ketika ia masih muda. Selain itu pada perang Badar,
ia turut bergabung dalam jihad fisabilillah; dan ia juga ikut bersama
Rasulullah pergi ke Al-Hudaibiyah dan menyaksikan "Baiatur Ridwan."
Mengkhanati Rasulullah
Pada tahun 8 H. di saat Rasulullah SAW sedang sibuk mempersiapkan
penaklukan kota Makkah sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah,
ketika itu fikiran Hatib gundah gulana. Ia sedih memikirkan anak-anaknya
dan keluarganya yang tidak aman daripada penganiayaan kaum Quraisy,
karena di Makkah mereka tidak mempunyai pelindung yang dapat melindungi
dan menjaga mereka daripada musuh-musuh Islam. Bisikan-bisikan syaitan
selalu menggoda fikirannya hingga ia merasa kalut, dan fikirannya buntu.
Maka ia memutuskan akan mendekati kaum musyrikin Quraisy dengan
memberitahu pada mereka mengenai rahasia-rahasia kekuatan senjata yang
telah dipersiapkan Rasulullah untuk penaklukan atas kota Makkah.
Tidak pernah terfikirkan olehnya, bahwa perbuatan itu merupakan
pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa rahasia tentara
adalah amanat yang ada di bahu para perajurit. Bila salah satu rahasia
sampai dibocorkan, maka perajurit tersebut akan mendapat amarah dari
Allah, malaikat-Nya dan semua kaum muslimin, karena ia membocorkan
rahasia kekuatan laskar yang akan menghadapkan pasukannya pada bahaya
dan sekaligus menghadapkan tanah air pada kebinasaan.
Itulah langkah yang terburuk dalam kehidupan Hatib Ibnu Balta'ah. Ia
bertekad untuk memberitahu kaum Quraisy tentang tentara Islam yang telah
dipersiapkan Rasulullah SAW. Cahaya iman telah padam di hatinya. Ia
tidak lagi memikirkan keagungan akidah. Maka dengan tangan gementar ia
mulai menulis surat kepada pembesar-pembesar Quraisy, membuka rahasia
laskar Islam yang dipersiapkan secara matang oleh Rasulullah ke Makkah,
agar mereka mempunyai gambaran atas keadaan kaum muslimin Madinah.
Surat itu diserahkan kepada seorang wanita. Ia menyuruh wanita tersebut
agar merahasiakan surat itu di sanggul rambutnya sehingga jika ada orang
yang menghadang kenderaannya, maka surat itu tidak akan diketahui. Ia
berjanji pada wanita itu akan memberi hadiah yang mahal bila surat itu
telah sampai di tangan pembesar Quraisy.
Baru saja wanita tersebut meninggalkan Madinah, malaikat Jibril segera
memberitahu Rasulullah tentang apa yang telah dilakukan Hatib. Maka
Rasulullah cepat-cepat memanggil Ali Ibn Abi Thalib dan Zubair Ibn Awwam.
Baginda berkata: "Kejarlah wanita itu, ia memberitahu surat Hatib untuk
para pembesar Quraisy yang isinya menerangkan mereka tentang persiapan
yang telah kita himpun dalam menaklukkan mereka."
Ali dan Zubair bergegas keluar mencari wanita itu dan keduanya menemukan
wanita tersebut di daerah Raudhah Khah, 7 batu dari Madinah. Ketika Ali
ra. menyuruh wanita itu supaya mengeluarkan surat Hatib, wanita itu
tidak mengaku kalau ia sedang membawa surat. Maka Ali pun berdiri dan
memeriksa kenderaannya, tetapi ia tidak menemukan surat itu.
Akhirnya dengan marah Ali memandang wanita itu dan berkata: "Aku
bersumpah kepada Allah bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta. Sekarang
kamu harus pilih apakah kamu mau menyerahkan surat itu kepadaku, ataukah
aku harus menelanjangi kamu!" Setelah Ali bersikap kasar dan memberi dua
pilihan, akhirnya wanita itu berkata: "Berpalinglah." Setelah itu Ali
membalikkan badan kemudian wanita itu membuka ikatan rambutnya dan
mengeluarkan surat darinya, lalu menyerahkan surat itu kepada Ali.
Ali dan Zubair segera kembali kepada Rasulullah dengan membawa surat
Hatib. Rasulullah menghadirkan Hatib Ibn Abu Balta'ah dan bertanya
kepadanya, "Wahai Hatib, apa yang mendorong kamu berbuat demikian?" Maka
oleh Hatib dijawab dengan nada terputus-putus: "Wahai Rasulullah,
janganlah tergesa-gesa menghukum diriku. Semua itu kulakukan karena aku
bukan dari golongan Quraisy, di Makkah aku masih mempunyai sanak saudara.
Maka aku ingin kaum Quraisy menjaga keluargaku di Makkah. Dan sungguh,
itu aku lakukan bukan karena aku telah murtad dari Islam, dan bukan pula
aku rela kepada kekufuran sesudah iman."
Rasulullah memandang semua sahabat yang hadir dengan wajah bersinar, dan
baginda berkata kepada mereka: "Bagaimana pun juga, ia telah berkata
jujur."
Suasana majlis menjadi hening sejenak, tiba-tiba Umar berkata: "Wahai
Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini."
Umar berpandangan bahwa membocorkan rahasia-rahasia laskar Islam
merupakan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka balasannya
adalah harus dibunuh. Orang yang mengadakan hubungan dengan musuh, maka
balasannya adalah dijatuhi hukuman mati.
Sementara itu Rasulullah telah memaafkan Hatib karena ia telah mengakui
dosanya. Selain itu baginda mengingat perjuangan Hatib di masa lalu
karena ia berjuang di medan perang Badar, sehingga banyak pasukan
musyrikin yang mati di bawah tebasan pedangnya. Ia berani menghadapi
bahaya dengan menerjang barisan musuh. Rasulullah juga mengingat posisi
Hatib pada hari Bai'atur Ridwan di bawah sebuah pohon yang diberkahi, di
mana pada saat itu para malaikat menyaksikan orang-orang mukmin yang
sedang mengulurkan tangan mereka untuk berbaiat kepada Rasulullah.
Kesalahan Hatib Dimaafkan
Atas tiga dasar itu, maka baginda memandang Umar dan berkata: "Wahai
Umar bagaimana pendapatmu, jika Allah telah memberi kelonggaran pada
pejuang Badar?" Allah berfirman dalam Al-Ouran surah Al-Mumtahanah
ayat 1 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia, (sehingga)
kamu menyampaikan kepada mereka (berita-berita) Muhammad,
dikarenakan rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka ingkar
kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasulullah
dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku. Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,
karena kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dan apa yang kamu nyatakan. Barangsiapa di antara kamu yang
melakukan, maka sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan lurus."
Hal lain yang menguatkan diterimanya taubat Hatib; pada suatu hari salah
seorang pelayan Hatib datang kepada Rasulullah untuk mengadukan
perlakuan Hatib kepadanya, kemudian pelayan itu berkata: "Wahai
Rasulullah, kelak sungguh Hatib akan masuk neraka." Tetapi Rasulullah
berkata: "Tidak, karena ia ikut berperang pada peristiwa Badar dan juga
ikut dalam perjanjian Hudaibiyah."
Sejak saat itu, Hatib menangis menyesali perbuatannya. Siang dan malam
dilakukan dengan selalu memohon ampunan kepada Allah atas kesesatannya
hingga ia meninggal dunia pada usia 53 tahun tepatnya pada tahun 30 H.
yaitu pada masa pemerintahan Usman Ibn Affan. Ia menghadapi kematian
dengan jiwa yang ridha karena ia tahu bahwa Rasulullah telah
memaafkannya meskipun ia telah mengkhianati hak Allah, Rasulullah dan
kaum mukminin.
Hudhayfa Ibnul Yaman - Seteru Kemunafikan,
Kawan Keterbukaan
Penduduk kota Madain berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan
wali negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu’minin
Umar ra. Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka
rindu untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi yang mulia ini, yang telah
banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan ketaqwaannya, begitu pula
tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak.
Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba
muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri.
Ia mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua
kakinya teruantai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam
sedang mulutnya sedang mengunyah.
Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang
itu tidak lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman, maka mereka jadi bingung dan
hampir-hampir tidak percaya. Tetapi apa yang akan diherankan? Corak
kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar? Hal
itu dapat difahami, karena baik di masa kerajaan Persi yang terkenal itu
atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia ini.
Hudhayfa meneruskan perjalanan sedang orang-orang berkerumun dan
mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah
menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya, "Jauhilah
oleh kalian tempat-tempat fitnah!" Ujar mereka, "Di manakah
tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?" Ujarnya, "Pintu rumah para
pembesar!" Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan
ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan!"
Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jubkan! Dari
ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang
segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang
apa saja yang terdapat di dunia ini, begitupun yang lebih hina dalam
pandangan matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus
merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri
baru ini, serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.
Hudhayfa Ibnu Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi’at
istimewa. Di antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan dan mampu
melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh
sekalipun. Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya
menghadap Rasulullah SAW dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam
menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia
menjaganya secara teguh dan suci, serta tulus dan gagah berani dan
diapndangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang
rendah dan hina.
Ia terdidik ditangan Rasulullah SAW dengan kalbu terbuka tak ubah bagai
cahaya shubuh, hingga tak suatupun dari persoalan hidupnya yang
tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang
benar dan jujur, mencintai orang-orang yng teguh membela kebenaran,
sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya,
orang-orang culas bermuka dua!
Ia bergaul dengan Rasulullah SAW dan sungguh, tak ada lagi tempat baik
di mana bakat Hudhayfa ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di
arena ini, yakni dalam pengkuan agama Islam, di hadapan Rasulullah SAW
dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari shahabat-shahabat
Rasulullah SAW. Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan,
hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka
seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan
tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang
tersembunyi serta simpanan yang terpendam.
Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya,
hingga Amirul Mu’minin Umar r.a. yang dikenal sebagai orang yang penuh
dengan inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan
pendapat Hudhayfa, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih
tokoh dan mengenali mereka. Sungguh Hudhayfa telah dikaruniai fikiran
jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam
kehidupan ini sesuatu yang biak itu adalah yang jelas dan gamblang,
yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek
ialah yang gelap atau samar-samar, dan karena itu orang yang bijaksana
hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan
kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah Hudhayfa r.a terus menerus mempelajari kejahatan dan
orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafiq. Berkata ia, "Orang-orang
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya
menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di
dalamnya. Pernah kubertanya, 'Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam
kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada
kita kebaikan ini, apakah dibalik kebaikan ini ada kejahatan?' 'Ada',
ujarnya. 'Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?'
tanyaku pula. 'Memang, tetapi kabur dan bahaya.' 'Apakah bahaya itu?' 'Yaitu
segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk
bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.' "
'Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkan ada lagi kejahatan?'
tanyaku pula. 'Masih,' ujar Nabi, 'Yakni para tukang seru di pintu
neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke
dalam neraka!' Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, apa
yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?' Ujar
Rasulullah, 'Senantiasa mengikuti jama’ah kaum muslimin dan pemimpin
mereka!' 'Bagaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula
pemimpin?' 'Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walau kamu
akan tinggal dirumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan
demikian!'
Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya, "Orang-orang menanyakan kepada
Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya
tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya." Hudhayfa
Ibnu Yaman menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada
terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan
memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia
menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba
situasi. Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akan fikirannya lalu
dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘arif dan bijaksana.
Berkatalah ia, "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad
SAW, maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari
kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga
dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang
hidup menjadi mati! Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa
kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan
durjana."
Di antara manusia ada yang menerima, baik dengan hati maupun dengan
tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang
haq. Dan di antara mereka ada yang menentang, baik dengan hati maupun
dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menentang
yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan
lisannya tanpa mengikut sertakan tangannya, maka golongan ini telah
meninggalkan suatu cabang dari yang haq.
Dan apapula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikut
sertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua
cabang dari yang haq. Dan adapula yang tidak menentang, baik dengan hati
maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah
mayat-mayat bernyawa.
Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh
petunjuk dan yang sesat, katanya, "Hati itu ada empat macam: Hati yang
tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia
hati orang munafiq. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang
menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi
keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu adalah laksana sebatang
kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya
bagai bisul yang diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya
yang lebih kuat, itulah yang menang."
Pengalaman Hudhayfa yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk
melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi
tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya,
"Saya datang menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, 'Wahai Rasulullah,
lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau
hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka.' Maka ujar Rasulullah SAW,
'Kenapa kamu tidak beristighfar?' 'Sungguh, saya beristighfar kepada
Allah tiap hari seratus kali.' " Nah inilah dia Hudhayfa musuh
kemunafikan dan shahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah
imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya
Hudhayfa, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang
telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan ditangan srikandi Islam
sendiri yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang
musyrik.
Hudhayfa melihat dari jauh pedang sedang dihujamkan kepada ayahnya, ia
berteriak, "Ayahku.. ayahku... Jangan ia ayahku.." Tetapi qadla Allah
telah tiba. Dan ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, merekapun
diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi
mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya, "Semoga
Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang."
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya
pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya.
Akhirnya peperanganpun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga
Rasulullah SAW. Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda
Hudhayfa (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudhayfa ini dan
disuruh membagikannya kepada kaum muslimin. Hal itu menambah sayang dan
tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya.
Keimanan dan kecintaan Hudhayfa tidak kenal lelah dan lemah, bahkan juga
tidak kenal mustahil. Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya
kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari
golongan Yahudi, Rasulullah SAW bermaksud hendak mengentahui
perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin topan dan
badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan
menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak ditempatnya. Dan
suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan
kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan
telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah
SAW.
Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apapun kekuatan itu yang
berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah
bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk
secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan
mengetahui keadaan mereka? Maka Rasulullah yang memilih di antara para
shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini, dan
tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah
Hudhayfa Ibnu Yaman.
Ia dipanggil oleh Rasulullah SAW untuk melakukan tugas, dan dengan patuh
dipenuhinya. Dan sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan
peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya.
Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas
yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi
bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan timpaan
hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat
pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.
Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudhayfa malam itu, amat
mena’jubkan sekali. Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara
kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu secara diam-diam
menyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah
memadamkan alat-alat penerangan fihak lawan hingga mereka berada dalam
gelap gulita, sementara Hudhayfa ra telah mengambil tempat di
tengah-tengah prajurit musuh itu.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan
malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum muslimin untuk menyusup ke
perkemahan mereka. Maka iapun berdirilah untuk memperingatkan anak
buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudhayfa dan
bunyinya sebagai berikut, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah
masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan
serta mengetahui siapa namanya."
Kata Hudhayfa, "Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk
di dekatku, kataku kepadanya, 'Siapa kamu ini?' Ujarnya, 'Si Anu anak si
Anu.' Demikianlah Hudhayfa mengamankan kehadirannya di kalangan tentara
musuh itu hingga selamat. Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada
tentaranya, katanya, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah
tidak utuh lagi, kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya
unta."
"Bani Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami
akibat yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan
sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk
berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka
berangkatlah kalian sayapun akan berangkat." Lalu ia naik ke punggung
untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya. Kata
Hudhayfa, "Kalau tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya agar saya
tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah
saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah."
Hudhayfa kembali kepada Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan musuh,
serta menyampaikan berita gembira itu. Barangsiapa yang pernah bertemu
muka dengan Hudhayfa dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya
serta tekunnya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan mengharapkan
daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran.
Tetapi anehnya dalam bidang inipun Hudhayfa melenyapkan segala dugaan
itu. Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan
menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang
menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan. Cukuplah sebagai bukti
bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh
terpenting pada pembebasan seluruh wilayah Irak. Kota-kota Hamdan, Rai
dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudhayfa.
Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi berhasil
menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mu’minin Umar memilih sebagai
panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudhayfa dikirimnya
surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah.
Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya, "Jika kaum
muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah
mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah
Nu’man bin Muqarrin. Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji
komando hendaklah dipegang oleh Hudhayfa, dan kalau ia tewas pula maka
oleh Jarir bin Abdillah."
Amirul Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang
banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan. Dan
kedua pasukanpun berhadapanlah. Pasukan Persi dengan 150 ribu tentara,
sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang
berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang
terdasyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima besar kaum muslimin gugur sebagai syahid, Nu’man bin Muqarrin
tewaslah sudah. Tetapi sebelum bendera kaum muslimin menyentuh tanah,
panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin
kemenanganpun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat
penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang bru itu tiada lain
dari Hudhayfa Ibnul Yaman. Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya
agar kematian Nu’man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentuan.
Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan
saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan kepadanya.
Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu
hanya beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat, kemudian
bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil
menyerukan, "Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya, Allahu Akbar,
telah dibela-Nya tentara-Nya". Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah
anak buahnya, dan berseru, "Hai ummat Muhammad SAW, pintu-pintu surga
telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan
biarkan ia menunggu lebih lama, Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar,
Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk." Dengan
ucapan-ucapannya itu Hudhayfa telah memelihara semangat tempur dan
ketahanan anak buahnya, jika tak dapat dikatakan telah menambah dan
melipat gandakannya. Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan
pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan
bandingannya.
Khalid Bin Walid - Ksatria Islam yang
Tangguh
"ORANG seperti dia, tidak dapat tanpa diketahui dibiarkan begitu saja.
Dia harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika dia menggabungkan
diri dengan kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir,
kita harus mengangkatnya kedalam golongan pemimpin" demikian
keterangan Nabi ketika berbicara tentang Khalid sebelum calon pahlawan
ini masuk Islam.
Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia
anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya
bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk diantara keluarga Nabi
yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi.
Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara
sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini
main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan
melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Ayah Khalid yang bernama Walid, adalah salah seorang pemimpin yang
paling berkuasa diantara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia
menghormati Ka'bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua
tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka'bah. Pada masa ibadah Haji
dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang
berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang pun yang berani
meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut
kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju kedepan
dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, "O, Tuhan jangan marah
kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu".
Nabi mengharap-harap dengan sepenuh hati, agar Walid masuk Islam.
Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani dimata
rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika
dia telah masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya.
Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-'an itu adalah
kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan
terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan
kekuatan ayat-ayat suci itu.
Ucapan yang terus terang ini memberikan harapan bagi Nabi, bahwa Walid
akan segera masuk Islam. Tetapi impian dan harapan ini tak pernah
menjadi kenyataan. Kebanggaan atas diri sendiri membendung
bisikan-bisikan hati nuraninya. Dia takut kehilangan kedudukannya
sebagai pemimpin bangsa Quraisy. Kesangsian ini menghalanginya untuk
menurutkan rayuan-rayuan hati nuraninya. Sayang sekali orang yang begini
baik, akhirnya mati sebagai orang yang bukan Islam.
Suku Banu Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan,
Banu Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur.
Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.
Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti
Banu Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam
dilembah Abu Thalib, orang-orang Banu Makhzumlah yang pertama kali
mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.
Latihan Pertama
Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya.
Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia
mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke
Taif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari
kewajiban-kewajibannya.
Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia tidak usah
bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa suatu
ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya.
Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap sebagai tanda seorang
Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu
hal terhormat di mata rakyat.
Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang
terpandang dimata rakyat. Hal ini memberikan dorongan keras kepada
Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan
paman-pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang
yang dapat mengatasi teman-temannya didalam hal adu tenaga. Sebab itulah
dia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni bela diri.
Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan
memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya kedalam hal memimpin angkatan
perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras,
telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan
keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang menakjubkan setiap
orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan menjadi ahli
dalam seni kemiliteran.
Dari masa kanak-kanaknya dia memberikan harapan untuk menjadi ahli
militer yang luar biasa senialnya.
Menentang Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol diantara
teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati
rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy.
Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat
anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam. Kepercayaan
baru itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang
Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab
itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas
Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat ber-berakar. Khalid
sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri digaris
paling depan dalam penggempuran terhadap kepercayaan baru ini. Hal ini
sudah wajardan seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan
ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang
Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus
menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan
kepada sukunya kwalitasnya sebagai pekelahi.
Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy didalam perang Badar membuat mereka jadi
kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina.
Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur
masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng dimuka orang-orang Quraisy.
Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur
kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk
membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.
Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit
getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya
dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan
satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud
ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran.
Dibukit Uhud masih ada suatu tanah genting, dimana tentara Quraisy dapat
menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi
menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka
agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai
meninggalkan pos masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih
besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu
mengingat kekalahant-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena
kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian
orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan
baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan
mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.
Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa
Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam
orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya
tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari
kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas
ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta
perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir
panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah
genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.
Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera
melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak
masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama.
Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa
untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang
dan menggempur orang Islam dipusat pertahanannya. Melihat Khalid telah
masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari
cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari
belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang
telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi
gawat.
Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi
suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan
cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang,
kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia
menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalidlah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya.
Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai
dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa
inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi
orang Quraisy.
Ketika Khalid bin Walid memeluk Islam Rasulullah sangat bahagia, karena
Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela
Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak
kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan
perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya.
Betapapun hebatnya Khalid bin Walid di dalam medan pertempuran, dengan
berbagai luka yang menyayat badannya, namun ternyata kematianya diatas
ranjang. Betapa menyesalnya Khalid harapan untuk mati sahid dimedan
perang ternyata tidak tercapai dan Allah menghendakinya mati di atas
tempat tidur, sesudah perjuangan membela Islam yang luar biasa itu.
Demikianlah kekuasaan Allah. Manusia berasal dari Allah dan akan kembali
kepada-Nya sesuai dengan kemauan-Nya.
Muawiyah Bin Abu Sofyan - Putera Panglima
Qureisy
Muawiyah dilahirkan dari keluarga hartawan dan pedagang besar yang
menguasai perekonomian hampir seluruh semenanjung Arabia. Ayahnya
bernama Abu Sufyan. Abu Sufyan inilah yang menjadi panglima besar kafir
Quraisy pada perang Uhud, Khandaq dan pemimpin pemerintahan sampai Mekah
dibebaskan oleh Rasulullah.
Ibunya bernama Hindun bin Utbah, seorang wanita lincah, cekatan yang
mempunyai andil besar dalam membantu suami di perang Uhud. Pada waktu
perang Badar, Hindun kehilangan ayah, paman, saudara dan puteranya.
Untuk menuntut bela terhadap keluarganya itu, ia mengupah Wahsyi sebagai
pembunuh bayaran untuk membunuh dan mengambil jantung Hamzah paman Nabi
dan syahid agung untuk dimakannya mentah-mentah. Usaha menuntut bela ini
dapat dicapainya.
Setelah Mekah dibebaskan, bersamaan dengan ayahnya ia pun masuk Islam.
Setelah masuk Islam, ia menjadi salah seorang sekretaris Rasulullah saw.
Ia pun ikut perang Hunain dan dengan gagah berani memperlihatkan
keperwiraannya sebagai seorang putera bekas panglima dan mendapat
pembagian rampasan perang bersama ayahnya melebihi yang lain karena
keduanya masih muallaf (orang yang baru masuk Islam, yang mendapat
jaminan hidup lebih dari orang yang sudah betul-betul beriman, supaya
tidak murtad lagi).
Di zaman Khilafah Abubakar ra, ia ikut bertempur melawan Romawi di Syam
(Damsyiq) di bawah pimpinan kakaknya Yazid bin Abu Sofyan. Ketika Yazid
wafat, Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan dan kemudian oleh
Khalifah Abubakar ra ditetapkan, menjadi wali negeri Syam sebagai
pengganti kakaknya itu.
Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khatthab ra, ia masih menjadi wali negeri
Damsyiq. Ketika Khalifah Umar ra meninjau Syam, beliau mendapatkan
Muawiyah di Istananya yang sangat mewah; Umar berkata, "Ini adalah Kisra
(Kaisar) Arab!" Tidak lama setelah itu, karena berbagai alasan, Umar
memberhentikan dari jabatannya dan Said bin Amir pelopor hidup sederhana
menggantikan Muawiyah.
Pada masa Khalifah Utsman, Muawiyah diangkat kembali menjadi wali negeri
seluruh Syria, termasuk Palestina. Banyak pengaduan rakyat kepada
Khalifah Utsman tentang tindakan wali negeri ini, termasuk keberandalan
puteranya. Akan tetapi sebagian besar surat pengaduan itu tidak
disampaikan kepada Khalifah oleh sekretaris beliau yang bernama Marwam (saudara
sepupu Muawiyah). Atas pengkhianatan Marwam inilah timbulnya
pemberontakan dan terbunuhnya Khalifah Utsman.
Muawiyah adalah seorang jenius, pintar dan cerdik, politisi dan panglima
perang. la mampu menggunakan kekuasaan dan harta negara dalam mencari
kawan dan merangkul bawahan. Sahabat Nabi yang mulia ini, walaupun
banyak ahli sejarah yang mencaci-makinya, wafat pada tahun 60 Hijrah
dalam usia 78 tahun. Semoga Allah mengampuni dan menerima amal baktinya.
Mush'ab Bin Umair - Duta Islam Yang Pertama (1)
Mush'ab bin Umair salah seorang diantara para shahabat Nabi. Alangkah
baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya: Seorang remaja
Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan
jiwa dan semangat kemudaan.
Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan
kalimat: "Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum".
Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya.
Mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda Mekah yang beruntung
dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami
Mush'ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan
manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di
tempat-tempat pertemuan, akan meningkat menjadi tamsil dalam semangat
kepahlawanan?
Sungguh, suat riwayat penuh pesona, riwayat Mush'ab bin Umair atau "Mush'ab
yang baik", sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu
diantara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik
oleh Muhammad SAW. Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi
kemanusiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas
dikalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al-Amin, Muhammad SAW, yang
mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka
maupun duka, sebagi da'i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang
Maha Esa.
Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu dan tiada yang
menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah SAW serta
Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak
mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia
menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan
kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan
dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya
pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.
Diantara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama
pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar
jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di
bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka
pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam
menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul
dengan para shahabatnya, tempat mengajarnya ayat-ayat Al-Qur'an dan
membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Al-Qur'an mulai
mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai
ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun
terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran
pada kalbunya.
Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa
haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah
mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut
dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi
sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang
teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah
memiliki ilmu dan hikmah yang luas - berlipat ganda dari ukuran usianya
- dan mempunyai kepekatan hati yang mempu merubah jalan sejarah..!
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, seorang yang berkepribadian
kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita
yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush'ab menganut Islam, tiada satu kekuatanpun yang ditakuti dan
dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan walau seluruh penduduk
Mekah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah
rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan
menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi
tantangan dari ibunya bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun
segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan
keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah. Demikianlah
ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majlis Rasulullah,
sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya
dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam
suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran dimana-mana mengikuti
setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.
Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab
memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain
dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia
mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar
Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti
dibacakannya ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan Rasulullah untuk
mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan,
kejujuran dan ketaqwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut peteranya dengan tamparan keras,
tiba-tiba tangan yang terulur bagi anak panah itu surut dan jatuh
terkulai - demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah
berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan - menimbulkan
suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.
Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab terhindar memukul dan menyakiti
puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela
berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu
tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya amat
rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat
beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini
Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan
penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal
di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Mekah.
Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas
titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus
dilalui Mush'ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. Ia selesai dan
berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah
dicontohkan Muhammad SAW. Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak
untuk dipersembahkan bagi pengorbanan terhadap Penciptanya Yang Maha
Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang
duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka sama
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya
basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang
bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka -
pakaiannya sebelum masuk Islam - tak obahnya bagaikan kembang di taman,
berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai
cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging
senyuman mulia, seraya berkata yang artinya : "Dahulu saya lihat Mush'ab
ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang
tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah
dan Rasul-Nya."
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush'ab kepada
agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa
dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang
telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau
anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush'ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak
mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun
bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan
ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui
kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada
jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara
Mush'ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam
kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam
mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya
dari rumah sambil berkata : "Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu
lagi". Maka Mush'ab pun menghampiri ibunya sambil berkata : "Wahai bunda!
Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh
kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya".
Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : "Demi bintang! sekali-kali
aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah
pikiranku takkan diindahkan orang lagi". Bahkan ibunya mengancam, "Aku
akan mogok makan sampai mati jika kamu tak mau kembali ke agama nenek
moyang."
Bergetarkah Mush'ab? Ternyata tidak. Karena menyangkut aqidah, iapun
bersumpah, "Wahai ibu, walau ibu bernyawa seribu. Dan satu persatu nyawa
ibu tercabut di hadapanku, aku tetap takkan murtad dari Islam."
Demikian Mush'ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya
selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan
perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang
kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.
Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan aqidah suci dan cemerlang berkat
sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain,
yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.
Sa'ad Bin Abi Waqqash - Singa yang
Menyembunyikan Kukunya
Berita yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang
dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat
menggelisahkan hati Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab... Disusul
kemudian dengan berita, tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu
orang pihak Kaum Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari,
begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak
terhadap perjanjian-perjanjian, yang mereka perbuat, serta ikrar yang
telah mereka akui..., menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk
pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata
yang menentukan, melawan Persi.
Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan,
berangkatlah ia dengan meninggalkan Ali Karamallahu Wajhah di
Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum berapa jauh dari kota sebagian
anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan
memilih salah seorang di antara para shahabat untuk melakukan tugas
tersebut. Usul ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin 'Auf yang menyatakan
bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mu'minin dengan cara seperti ini,
sementara Islam sedang menghadapi hari-harinya yang menentukan, adalah
perbuatan yang keliru. Umar pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk
bermusyawarah dan diserukanlah "Asshalata jami'ah"; sementara Ali
dipanggil datang; yang bersama beberapa orang penduduk Madinah berangkat
menuju tempat perhentian Amirul Mu'minin. Akhirnya tercapailah
persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin 'Auf,
dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan
memilih seorang panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi
Persi. Amirul Mu'minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada
para shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka
sama tertegun dan berfikir.
Tiba-tiba berserulah Abdurrahman bin 'Auf, "Saya telah menemukannya."
"Siapa dia?" tnya Umar. Ujar Abdurrahman, "Singa yang menyembunyikan
kukunya, yaitu Sa'ad bin Malik az Zuhri!" Pendapat ini disokong
sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu'minin meminta datang Sa'ad
bin Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa'ad bin Abi Waqqash. Lalu
diangkatnya sebagai Amir atau Gubernur Militer di Irak yang bertugas
mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.
Nah, siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu? Dan siapakah
dia yang bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara
shahabat-shahabatnya; akan disambutnya dengan ucapan selamat datang
sambil bergurau, sabdanya: "Ini dia pamanku...! Siapa orang yang punya
paman seperti pamanku ini?" Itulah dia Sa'ad bin Abi Waqqash! Kakeknya
ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda
dari Rasulullah saw.
Sa'ad masuk Islam selagi berusia l7 tahun, dan keislamannya termasuk
yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya
sendiri, katanya, "Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga
orang pertama yang masuk Islam." Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang
di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.
Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang
Esa dan tentang Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil
rumah al-Arqam untuk tempat pertemuan dengan shahabat-shahabatnya yang
telah mulai beriman, Sa'ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan
kanannya untuk bai'at kepada Rasulullah saw.
Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita
bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil
usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyatakan keislamannya secara
terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu
Bakar, yaitu Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin 'Auf
dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa ia
lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.
Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa'ad ini, yang dapat
ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal
penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama, bahwa
dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela Agama Allah,
dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan kedua, bahwa dia
merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan
kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah saw di waktu perang Uhud,
"Panahlah hai Sa'ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu."
Memang! Kedua ni'mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa'ad buah
syukurnya kepada Allah. Katanya, "Demi Allah sayalah orang pertama yang
melepaskan anak panah di jalan Allah..!" Dan berkata pula Ali bin Abi
Thalib, "Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya
sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa'ad. Saya dengar beliau
bersabda waktu Perang Uhud, "Panahlah, hai Sa'ad Ibu bapakku menjadi
jaminan bagimu."
Sa'ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling
berani. Ia mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh, yaitu panahnya
dan do'anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan
mengenai sasarannya, dan jika ia menyampaikan suatu permohonan kepada
Allah pastilah dikabulkan-Nya. Menurut Sa'ad sendiri dan juga para
shahabat- nya, hal itu adalah disebabkan do'a Rasulullah juga bagi
pribadinya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa'ad
sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diajukannyalah
do'a yang maqbul ini, "Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya, dan
kabulkanlah do'anya."
Demikianlah ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya
bahwa do'anya tak ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari
sepenuhnya oleh Sa'ad sendiri, hingga ia tak hendak berdo'a bagi
kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah
Ta'ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh 'Amir bin
Sa'ad.
"Sa'ad mendengar seorang laki-laki memaki 'Ali, Thalhah dan Zubair.
Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut. Maka katanya, 'Kalau
begitu saya do’akan kamu kepada Allah' Ujar laki-laki itu, 'Rupanya kamu
hendak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi.' Maka Sa'ad
pun pergi wudlu dan shalat dua raka'at. Lalu diangkatlah kedua tangannya,
katanya, 'Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki
segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan
mereka itu mengundang amarah murka-Mu, maha mohon dijadikan hal itu
sesuatu pertanda dan suatu pelajaran...!'"
"Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul
seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan
orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki
tadi dan dibawanya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi
bulan-bulanan injakan dan sepakannya hingga akhirnya tewas menemui
ajalnya..!"
Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman
dan keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa'ad, jiwanya adalah jiwa
merdeka, keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak
bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal,
dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.
Dalam kehidupan akhirnya Sa'ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan
berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi
kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat
terhimpun; maka di tangan Sa'ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi
harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus. Di samping itu ia
dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam soal membersihkan harta. Dan
kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal,
diimbangi bahkan mungkin diatasi oleh kesanggupan menafqahkannya di
jalan Allah.
Ketika Hajji Wada', Sa'ad ikut bersama Raisulullah saw. Kebetulan ia
jatuh sakit, maka Rasulullah datang menengoknya. Tanya Sa'ad, "Wahai
Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja.
Bolehkah saya shadaqahkan dua pertiga hartaku?" "Tidak," jawab Nabi. "Kalau
begitu, separohnya?" tanya Sa'ad pula. "Jangan," ujar Nabi. "Jadi,
sepertiganya?" "Benar," ujar Nabi, "Dan sepertiga itupun sudah banyak.
Lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada
membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang
lain. Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridlaan
Allah, pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang
anda taruh di mulut isteri anda!" Beberapa lama Sa'ad hanya mempunyai
seorang putri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi
beberapa orang putera.
Thalhah bin Ubaidillah - Pribadi yang
Pemurah dan Dermawan
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan
kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah
dalam pengorbanan jiwa. Thalhah merupakan salah seorang dari delapan
orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu orang bernilai
seribu orang. Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak
pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai
orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah masuk Islam
melalui anak pamannya, Abubakar Assidiq Ra.
Awal Masuk Islam
Dengan disertai Abubakar Assiddiq, Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW.
Setelah berhasil jumpa dengan Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan
niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq, Islam. Maka Rasulullah SAW
menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menyatakan
keislamannya di hadapan Muhammad SAW, Thalhah dan Abubakar Ra pun pergi.
Tapi ditengah jalan mereka dicegat oleh Nofel bin Khuwailid yang dikenal
dengan "Singa Quraisy", yang terkenal kejam dan bengis. Nofel kemudian
memanggil gerombolannya untuk menangkap mereka. Ternyata Thalhah dan
Abubakar tidak hanya ditangkap saja. Mereka diikat dalam satu tambang
lalu dipukuli. Semua itu dilakukan Nofel sebagai siksaan atas keislaman
Thalhah. Oleh karena itu Thalhah dan Abubakar Ra dijuluki "Alqorinan"
atau "dua serangkai". Thalhah adalah seorang lelaki yang gagah berani,
tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam ujian
lainnya. Ia seorang yang kokoh mempertahankan pendirian meskipun ketika
jaman jahiliah.
Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW
Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada
Thalhah. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah. Pada waktu itu
akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku
dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini."
Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh
tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika tentara
Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat
ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di
saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat
tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan
yang amat memalukan di perang Badar. Mereka masing-masing mencari orang
yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat
akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha
mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan
mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin
dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan
tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang
dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap
bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan
teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah". Salah
satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah. Ia
berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia
melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau
dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan
kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang
tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Thalhah
memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud.
Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan
pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat
dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya
kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira
Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah selamat walaupun
dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki
bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya
diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah
dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah
Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, "
Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW
adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat
julukan "Burung elang hari Uhud."
Thalhah Yang Dermawan
Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus
mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia
adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan
dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya
melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan
suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah
mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga
memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya berkata, "Uang
yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka
dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa
meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah,
katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun
sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan
dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan
pangannya." Jaabir bin Abdullah bertutur, " Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh
karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si
pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".
Wafatnya Thalhah
Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu
dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling
belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke
Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia
wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu
tempat dekat padang rumput di Basra. Rasulullah pernah berkata kepada
para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang
melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah. Hal
itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di antara orang-orang
mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka
ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Tsabit Bin Qeis - Juru Bicara Rasulullah
Juru Bicara Rasulullah
Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit
adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan
kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan
mempesonakan.
Pada tahun datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru Semenanjung
Arabia, datanglah ke Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada
Rasulullah saw, "Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka
idzinkanlah kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya." Maka
Rasulullah saw tersenyum, lalu katanya, "Telah kuidzinkan bagi juru
bicara kalian, silakan!"
Juru bicara mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai
membanggakan kelebihan-kelebihan kaumnya. Setelah selesai, Nabi pun
berkata kepada Tsabit bin Qeis, "Berdirilah dan jawablah!"
Tsabit bangkit menjawahnya, "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya, dan titah-Nya telah berlaku padanya.
Ilmu-Nya meliputi kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada, kecuali dengan
karunia-Nya. Kemudian dengan qodrat-Nya juga, dijadikanNya kita golongan
dan bangsa-bangsa. Dan Ia telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik
seorang Rasul-Nya. Berketurunan, berwibawa dan jujur kata tuturnya.
Dibekali-Nya Al-Quran, dibebani-Nya amanat. Membimbing ke jalan
persatuan ummat. Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam semesta.
Kemudian ia menyeru manusia agar beriman kepada-Nya, maka berimanlah
orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya, yakni orang-orang
yang termulia keturunannya, dan yang paling baik amal perbuatannya. Dan
setelah itu, kami orang-orang Anshar, adalah yang pertama pula
memperkenankan seruannya. Kami adalah pembela-pembela Agama Allah dan
penyokong-penyokong Rasul-Nya...."
Di Medan Jihad
Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah saw dan
peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak perjuangannya
menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam peperangan-peperangan menumpas
orang-orang murtad, ia selalu berada di barisan terdepan, membawa
bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan
tak pernah berhenti.
Di perang Yamamah, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang
dilancarkan oleh tentara Musailamatul Kaddzab terhadap Muslimin di awal
pertempuran, maka berserulah ia dengan suaranya yang keras memberi
peringatan, "Demi Allah, bukan begini caranya kami berperang bersama
Rasulullah saw!" Kemudian ia pergi tak seberapa jauh, dan tiada lama
kembali sesudah membalut badannya dengan balutan jenazah dan memakai
kain kafan, lain berseru lagi, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri
kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka, yakni tentara Musailamah, dan aku
memohon ampun kepada-Mu dari apa yang diperbuat mereka, yakni Kaum
Muslimin yang kendor semangat dalam peperangan!"
Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah saw,
sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin.
Keduanya menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka
masuk dengan berdiri di dalamnya, lain mereka timbunkan pasir ke badan
mereka sampai menutupi setengah badan... Demikianlah mereka berdiri tak
ubah bagai dua tonggak yang kokoh, setengah badan mereka terbenam ke
dalam pasir dan terpaku ke dasar lobang, sementara setengah bagian atas
dadanya, kening dan kedua lengan mereka siap menghadapi tentara
penyembah berhala dan orang-orang pembohong. Tak henti-hentinya mereka
memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang mendekat,
sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu, dan reduplah
sudah sinar sang surya mereka!
Peristiwa syahidnya kedua pahlawan ra ini bagaikan pekikan dahsyat yang
menghimbau Kaum Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka
hingga akhirnya mereka berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka
tersungkur menutupi tanah bekas mereka berpijak.
Jiwa yang Pemalu
Dan Tsabit bin Qeis yang mencapai kedudukan puncak sebagai jubir dan
sebagai pahlawan perang, juga memiliki jiwa yang selalu ingin kembali
menghadap Allah Maha Pencipta, hatinya khusyu' dan tenang tenteram. Ia
adalah pula salah seorang Muslimin yang paling takut dan pemalu kepada
Allah.
Sewaktu turun ayat mulia: "Sesungguhnya Allah tidak suka pada setiap
orang yang congkak dan sombong." (QS Luqman [31]:18), Tsabit menutup
pintu rumahnya dan duduk menangis. Lama dia terperanjak begitu saja,
sehingga sampai beritanya kepada Rasulullah saw yang segera memanggilnya
dan menanyainya. Maka kata Tsabit, "Ya Rasulallah, aku senang kepada
pakaian yang indah, dan kasut yang bagus, dan sungguh aku takut dengan
ini akan menjadi orang yang congkak dan sombong!" Bicaranya itu dijawab
oleh Nabi saw sambil tertawa senang, "Engkau tidaklah termasuk dalam
golongan mereka itu, bahkan engkau hidup dengan kebaikan, dan mati
dengan kebaikan, dan engkau akan masuk surga!"
Dan sewaktu turun firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian angkat suara melebihi suara Nabi, dan jangan
kalian berkata kepada Nabi dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara
sebahagian kalian terhadap sebahagian yang lainnya, karena dengan
demikian amalan kalian akan gugur, sedang kalian tidak menyadarinya!"
(QS Al-Hujurat: 2), Tsabit menutup pintu rumahnya lagi, lalu menangis.
Rasul mencarinya dan menanyakan tentang dirinya, kemudian mengirimkan
seseorang untuk memanggilnya. Dan Tsabit pun datanglah.
Rasulullah menanyainya mengapa tidak kelihatan muncul, yang dijawabnya,
"Sesungguhnya aku ini seorang manusia yang keras suara, dan sesungguhnya
aku pernah meninggikan suaraku dari suaramu wahai Rasulullah! Karena itu
tentulah amalanku menjadi gugur dan aku termasuk penduduk neraka!"
Rasulullah pun menjawabnya, "Engkau tidaklah termasuk salah seorang di
antara mereka bahkan engkau hidup terpuji, dan nanti akan berperang
sampai syahid, hingga Allah bakal memasukkanmu ke dalam surga!"
Wasiat Tsabit
Masih tinggal dalam kisah Tsabit ini satu peristiwa lagi, yang
kadang-kadang tak dapat diterima dengan puas oleh hati orang-orang yang
memusatkan pikiran, perasaan dan mimpi-mimpi mereka kepada alam
kebendaan yang sempit semata, yakni alam yang selalu mereka raba, mereka
lihat atau mereka cium.
Namun bagaimanapun, peristiwa itu benar-benar terjadi, dan tafsirnya
nyata dan mudah bagi setiap orang yang di samping mempergunakan mata
lahir, mau pula menggunakan mata batinnya.
Setelah Tsabit menemui syahidnya di medan pertempuran, melintaslah di
dekatnya salah seorang Muslimin yang baru saja masuk Islam dan ia
melihat pada tubuh Tsabit masih ada baju besinya yang berharga maka
menurut dugaannya ia berhak mengambilnya untuk dirinya, lalu diambilnya.
Dan marilah kita serahkan kepada empunya riwayat itu menceritakannya
sendiri.
"Selagi seorang laki-laki Muslimin sedang nyenyak tidur, ia didatangi
Tsabit dalam tidurnya itu, yang berkata padanya, "Aku hendak mewasiatkan
kepadamu satu wasiat; tapi jangan sampai kau katakan bahwa ini hanya
mimpi lalu kamu sia-siakan! Sewaktu aku gugur sebagai syahid, lewat ke
dekatku seseorang Muslim lalu diambilnya baju besiku. Rumahnya sangat
jauh, orang tersebut memiliki kuda kepalanya mendongak ke atas
seakan-akan tertarik tali kekangnya.
Baju besi itu disimpan ditutupi sebuah periuk besar, dan periuk itu
ditutupi pelana unta (sakeduk). Pergilah kepada Khalid minta ia untuk
mengirimkan orang mengambilnya! Kemudian apabila kamu sampai ke kota
Madinah menghadap khalifah Abu Bakar, katakan kepadanya bahwa aku
mempunyai utang sekian banyaknya, aku mohon agar ia bersedia
membayarnya."
Maka sewaktu laki-laki itu terbangun dari tidurnya, ia terus menghadap
kepada Khalid bin Walid, lalu diceritakannyalah mimpi itu. Khalid pun
mengirimkan untuk mencari dan mengambil baju besi itu, lalu menemukannya
sebagai digambarkan dengan sempurna oleh Tsabit.
Setelah Kaum Muslimin pulang kembali ke Madinah, orang tadi menceritakan
mimpinya kepada khalifah, beliau pun melaksanakan wasiat Tsabit.
Satu-satunya wasiat dari seorang yang telah meninggal ialah wasiatnya
Tsabit bin Qeis yang terlaksana dengan sempurna.
"Dan janganlah sekali-kali kalian mengira orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati, karena sebenarnya mereka masih hidup, dan diberi
rizqi di sisi Tuhan mereka!" (QS Ali-Imran:169)
Umar Bin Khattab - Amirul Mukminin
Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin
yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan.
Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga
kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara.
Bahkan Umar sering terlambat salat Jum'at hanya menunggu bajunya kering,
karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan Umar ini dilandasi oleh kekuatirannya
terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh
hari Umar sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum
wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan,
dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat keridloan Nabi SAW,
ketika beliau akan wafat. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Azzubair ibnul Awwam, Sa'ad bin Abi
Waqqash, dan 'Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang
dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab selagi
hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka
Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu)
sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh nabimu.
Karena ketinggian sikap hati-hati, maka Umar sengaja tidak menunjukkan
anak paman dan adik iparnya sendiri, yaitu Said bin Zaid bin Amru bin
Nufail. la khawatir orang lain menuduhnya karena dia masih keluarga Umar,
meskipun Said bin Zaid adalah salah seorang dari kesepuluh orang yang
memperoleh kabar gembira masuk surga.
Umar juga berpesan kepada sahabatnya yang enam orang itu, agar putranya
Abdullah menghadiri musyawarah, tetapi ia tidak memiliki hak untuk
dipilih. Kehadiran Abdullah untuk mengutarakan pendapat, menyumbang
saran saja. la tidak boleh diserahi kekuasaan apapun. Disamping itu juga
berpesan, agar selama sidang musyawarah, yang menjadi imam salat adalah
Shuhaib bin Sannan Arrumi sampai musyawarah itu usai.
Umar hanya mengangkat keenam orang itu dan tidak menyertakan Ubaidah
ibnu Jarrah (orang ke sepuluh yang diberitakan masuk surga) karena ia
telah wafat. la juga tidak mengangkat Said bin Zaid (orang ke sembilan
yang diberitakan masuk.surga), karena ia adalah adik iparnya sendiri.
Selain itu, Said tidak berminat memangku suatu jabatan apapun. Dia hanya
ingin menjadi tentara yang terjun ke kancah perang dan perluasan dakwah.
la bercita-cita gugur sebagai syahid di medan tempur dan Umar mengetahui
hal itu.
Itulah gaya suksesi Umar bin Khattab, seorang khalifah yang adil dan
bijaksana. Kebijaksanaan Umar diakui masyarakat muslim, yang menyatakan
setelah Umar wafat, "Wahai Umar, engkau selalu meluruskan segala sesuatu
yang bengkok. Engkau memadamkan segala api fitnah dan menghidup-hidupkan
sunnah Nabi. Engkau meninggalkan dunia dengan bersih dan engkau bebas
dari segala aib dan cemar."
Utbah bin Ghazwan - Gubernur Basra yang
Zuhud
Utbah bin Ghazwan berperawakan tinggi dengan muka bercahaya dan rendah
hati, termasuk angkatan pertama masuk Islam, ada diantara Muhajirin
pertama yang hijrah ke Habsyi, dan yang hijrah ke Madinah. Beliau
termasuk pemanah pilihan yang jumlahnya tidak banyak yang telah berjasa
besar di jalan Allah.
Beliau adalah orang terakhir dari kelompok tujuh perintis yang bai'at
berjanji setia, dengan menjabat tangan kanan Rasulullah dengan tangan
kanan mereka, bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang
memegang kekuatan kekuasaan yang gemar berbuat zalim dan aniaya. Sejak
hari pertama dimulainya da'wah dengan penuh penderitaan dan kesulitan,
Utbah dan kawan-kawan telah memegang teguh suatu perinsip hidup yang
mulia, yang kemudian menjadi obat dan makanan bagi hati nurani manusia
dan telah berkembang luas pada generasi selanjutnya. Utbah ada diantara
sahabat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk Hijrah ke Habsy, tetapi
ia begitu rindu kepada Rasulullah sehingga ia tidak betah untuk menetap
disana, kembali ia menjelajah daratan dan lautan untuk kembali ke Makah
untuk hidup disisi Rasulullah hingga saatnya hijrah ke Madinah.
Semenjak orang-orang Quraisy melakukan gangguan dan melancarkan
peperangan, Utbah selalu membawa panah dan tombaknya, beliau sangat ahli
melemparkan tombak dan memanah dengan ketepatan yang luar biasa. Setelah
Rasulullah wafat, Utbah tidak hendak meletakan senjatanya, beliau tetap
berkelana berperang di jalan Allah.
Amirul Mu'minin Umar mengirim Utbah ke Ubullah untuk membebaskan negeri
itu dari pendudukan tentara Persi yang hendak menjadikannya sebagai
gerbang untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang menyebar ke
wilayah-wilayah jajahan Persi. Berkatalah Umar ketika hendak melepaskan
pasukan Utbah, "Berjalanlah anda bersama anak buah anda, hingga sampai
batas terjauh dari negeri Arab, dan batas terdekat negeri Persi...!
Pergilah dengan restu Allah dan berkahnya...! Serulah ke jalan Allah
siapa yang mau dan bersedia...! Dan siapa yang menolak hendaklah ia
membayar pajak...! Dan bagi setiap penantang, maka pedang bagiannya,
tanpa pilih bulu...! Tabahlah menghadapi musuh serta taqwalah kepada
Allah Tuhanmu...!"
Ketika pasukannya yang kecil telah berhadapan dengan pasukan balatentara
Persi yang terkuat, Utbah berseru, "Allahu akbar, shadaqa wa'dah ", "
Allah Maha besar, Ia menepati janjiNya." Ternyata Benarlah Janji Allah,
tak lama setelah terjadi pertempuran, Ubullah dapat di tundukan.
Di tempat itu Utbah membangun kota Basrah dan membangun sebuah masjid
besar di dalamnya. Kemudian beliau bermaksud untuk kembali ke Madinah,
tetapi Amirul Mu'minin memerintahkan beliau untuk tetap disana memimpin
pemerintahan di Basrah .
Utbah pun mentaati perintah Amirul Mu'minin, membimbing rakyat
melaksanakan shalat, mengajarkan masalah agama, menegakkan hukum dengan
adil, dan memberikan contoh tentang kezuhudan, wara' dan kesederhanaan.
Dengan tekun dikikisnya pola hidup mewah dan berlebihan sehingga
menjengkelkan mereka yang selalu memperturutkan hawa nafsu. Pernah dalam
suatu pidato beliau berkata, "Demi Allah, sesungguhnya telah kalian
lihat aku bersama Rasulullah saw sebagai salah satu seorang kelompok
tujuh, yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian
mulut kami pecah-pecah dan luka-luka. Disuatu hari aku beroleh rezeki
sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada
Sa'ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku...!"
Utbah sangat takut terhadap dunia yang akan merusak agamanya dan kaum
muslimin, sehingga beliau selalu mereka untuk hidup sederhana dan zuhud
terhadap dunia.
Namun banyak yang hendak mempengaruhi beliau untuk bersikap sebagaimana
penguasa yang penduduknya menghargai tanda tanda lahiriah dan gemerlapan
kemewahan. Tetapi utbah menjawab kepada mereka, "Aku berlindung diri
kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku karena kemewahan dunia,
tetapi kecil pada sisi Allah..!"
Dan tatkala dilihatnya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak
karena sikap kerasnya membawa mereka kepada hidup sederhana, berkatalah
ia kepada mereka, "Besok lusa akan kalian lihat pimpinan pemerintahan
dipegang orang lain menggantikan daku..."
Dan datanglah musim haji, pergilah Utbah menunaikan ibadah haji
sementara pemerintahan Basrah diwakilkan kepada salah seorang temannya.
Setelah melaksanakan ibadahnya beliau menghadap Amirul Mu'minin di
Madinah untuk mengundurkan diri dari pemerintahan. Tetapi Amirul
Mu'minin menolak dengan mengucapkan kalimat yang sering diucapkan kepada
otrang-orang zuhud seperti Utbah, "Apakah kalian hendak menaruh amanat
diatas pundakku..! Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang
diri..? Tidak demi Allah tidak kuizinkan selama-lamanya..!"
Oleh karena itu tidak ada pilihan bagi Utbah kecuali taat dan patuh. Dan
beliau hendak kembali ke Basrah. Sebelum naik kendaraannya ia menghadap
kearah kiblat, lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang lemah lungai
ke langit sambil memohon kepada Allah azza wajalla agar ia tidak
dikembalikan ke Basrah dan tidak pula menjadi pemimpin pemerintahan
selama-lamanya.
Dan Allah memperkenankan do'anya, dalam perjalanannya menuju Basrah,
Allah memanggil kepangkuanNya dengan menyediakan kesempurnaan nikmat dan
kesempurnaan suka cita karena pengorbanan dan baktinya, kezuhudan dan
kesahajaanya.
Utsman Bin Affan - Kebaikannya Tidak Menghindarkannya Dari Fitnah
Utsman bin Affan ra, adalah seorang yang bertakwa, selalu bersikap wara'.
Tengah malam tak pernah ia sia-siakan. la memanfaatkan waktu itu untuk
mengaji Al-Quran dan setiap tahun ia menunaikan ibadah haji. Bila sedang
berzikir dari matanya mengalir air mata haru. la selalu bersegera dalam
segala amal kebajikan dan kepentingan umat. la juga dermawan dan penuh
belas kasih. la telah melaksanakan hijrah sebanyak dua kali, pertama ke
Habasyah, dan yang kedua ke Madinah. Laknat dan kutukan Allah bagi siapa
saja yang membenci Utsman ra.
Pada akhir tahun 34 hijriyah, pemerintahan Islam. dilanda fitnah. Yang
menjadi sasaran fitnah adalah Utsman ra sampai mengakibatkan beliau
terbunuh pada tahun berikutnya.
Fitnah yang keji datang dari Mesir berupa tuduhan-tuduhan palsu yang
dibawa oleh orang-orang yang datang hendak umrah pada bulan Rajab.
Ali bin Abi Thalib ra mati-matian membela Utsman dan menyangkal tuduhan
mereka. Ali menanyakan keluhan dan tuduhan mereka, yang.segera di jawab
oleh mereka, "Utsman telah membakar mushaf-mushaf, shalat tidak diqasar
sewaktu di Mekkah, mengkhususkan sumber air untuk kepentingan dirinya
sendiri dan mengangkat pejabat dari kalangan generasi muda. la juga
mengutamakan segala fasilitas untuk Bani Umayyah (golongannya) melebihi
orang lain."
Pada hari Jum'at, Utsman berkhutbah dan mengangkat tangannya seraya
berkata, "Ya Allah, aku beristighfar dan bertaubat kepadamu. Aku
bertaubat atas perbuatanku."
Ali ra menjawab, "Mushaf-mushaf yang dibakar ialah yang mengandung
perselisihan dan yang ada sekarang ini adalah yang disepakati bersama
kesahannya. Adapun salat yang tidak di qasar sewaktu di Mekkah, adalah
karena dia berkeluarga di Mekkah dan dia berniat tinggal di sana. Oleh
karena itu salatnya tidak diqasar. Adapun sumber air yang dikhususkan
itu adalah untuk ternak sodakoh sampai mereka besar, bukan untuk ternak
unta dan domba miliknya sendiri. Umar juga pernah melakukan ini
sebelumnya. Adapun mengangkat pejabat dari generasi muda, hal ini
dilakukan semata-mata karena mereka mempunyai kemampuan di bidang-bidang
tersebut. Rasulullah juga pernah melakukan ini hal yang demikian. Adapun
dia mengutamakan kaumnya, Bani Umayyah, karena Rasulullah sendiri
menda-hulukan qurasy dari pada bani lainnya. Demi Allah kalau kunci
surga di tanganku, aku akan memasukkan Bani Umayyah ke surga."
Setelah mendengar penjelasan Ali ra umat Islam pulang dengan rasa puas.
Tapi para peniup fitnah terus melancarkan fitnahan-fitnahan dan
merencanakan makar jahatnya. Di antara mereka ada yang menyebarkan
tulisan dengan tanda tangan palsu dari pada sababat termuka yang
menjelek-jelekkan Utsman. Mereka juga menuntut agar Utsman dibunuh.
Fitnah kejipun terus menjalar dengan kejamnya, sebagian besar umat
termakan fitnahan-fitnahan tersebut hingga teriadinya pembunuhan atas
dirinya, setelah sebelumnya terkepung selama satu bulan di rumahnya.
Peristiwa inilah yang disebut dengan "Al Fitnah al Kubra" yang pertama,
hingga merobek persatuan umat Islam.
Zaid bin Haritsah - Satu-satunya Shahabat
yang Namanya Tercantum dalam Al-Qur'an
Bapaknya bernama Abdul Uzza bin Imri' Al-Qais, ibunya bernama Sa'di
binti Tsa'laba. Ketika masih kecil, ia diajak ibunya menengok kampung.
Tiba-tiba datang pasukan Bani Al-Qayn menyerang kampung tersebut. Mereka
juga menawan serta membawa pergi Zaid. Kemudian ia dijual kepada Hakim
bin Hizam, dengan harga 400 dirham, yang kemudian dihadiahkan kepada
bibinya, Khodijah binti Khuwailid. Ketika Khodijah menikah dengan
Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah dihadiahkan kepada Rasulullah SAW.
Haritsah, bapak Zaid sedih kehilangan anaknya. Ketika beberapa orang
dari Ka'ab menunaikan haji, mereka melihat dan mengenal Zaik sebagaimana
Zaid mengenal mereka. Kepada mereka Zaid berkata : "Sampaikan
beberapa bait syairku ini kepada keluargaku, karena sesungguhnya aku
mengerti bahwa mereka sedih karena kehilanganku". Lalu ia
melantunkan beberapa bait syairnya. Setelah Haritsah mengetahui kabar
anaknya, ia berangkat ke Mekkah bersama Ka'ab bin Syarahil sebagai
jaminan. Di hadapan Rasulullah SAW, mengajukan permohonan agar anaknya,
Zaid dibebaskan, dan ia akan memberikan Ka'ab bin Syarahil sebagai
jaminannya. Oleh Rasulullah SAW dikatakan bahwa apabila Zaid memilih
untuk ikut ayahnya, maka mereka tidak perlu memberikan jaminan. Tetapi
seandainya Zaid memilih untuk ikut bersama Rasulullah, sungguh tidak ada
paksaan untuk itu. Lalu dipanggillah Zaid. Dikatakan kepadanya : "Apakah
kamu mengenal mereka?" "Ya, ini bapakku dan ini pamanku"
jawabnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda : "Aku telah mengenalmu (Zaid),
dan kau pun telah mengetahui kecintaanku kepadamu. Sekarang pilihlah,
aku atau mereka berdua". Dengan tegas Zaid menjawab : "Aku sekali-kali
tidak akan memilih orang selain Engkau (ya Rasulullah), Engaku sudah
kuanggap sebagai bapak atau pamanku sendiri".
Setelah itu, Rasulullah SAW mengumumkan kepada khalayak, bahwa Zaid
diangkat sebagai anaknya. Ia mewarisi Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW
pun mewarisinya. Setelah mengetahui demikian, bapak dan paman Zaid pergi
dengan hati lapang. Zaid akhirnya masuk Islam, dan dinikahkan dengan
Zainab binti Jahsy. Ketika Zainab dicerai Zaid, ia dipersunting oleh
Rasulullah SAW. Maka tersebarlah gunjingan orang-orang Munafiq, bahwa
Muhammad telah menikahi anak perempuannya. Seketika itu turun QS Al-Ahzab:
40 yang membatalkan 'tabanni' (mengangkat anak angkat), sekaligus
penjelasan bahwa anak angkat, secara hukum tidak bisa dianggap sebagai
anak kandung. Anak angkat tidak bisa saling waris mewarisi dengan bapak
angkatnya. Demikian pula, isteri yang telah dicerai halal untuk dinikahi
bapak angkatnya. Dalam ayat tersebut tercantum langsung nama 'Zaid',
yang dengan demikian, ia adalah satu-satunya shahabat yang namanya
tercantum dalam Al-Qur'an.
Zaid bin Haritsah r.a gugur sebagai syahid dalam perang Mu'tah, pada
Jumadik Awwal 8 H. Pada waktu itu usianya 55 tahun.
Zubair Ibnul Awwam - Seorang Bernilai Seribu Orang
Antara Thalhah dan Azzubair adalah dua serangkai. Bila yang seorang
disebut maka yang kedua pun disebut. Mereka sama-sama beriman pada tahun
yang sama dan wafat dalam tahun yang sama pula. Kedua-duanya tergolong
kesepuluh orang yang "mubasyarin bil jannah".
Awal Masuk Islam
Azzubair masuk Islam dalam usia lima belas tahun dan ia hijrah dalam
usia delapan belas tahun sesudah menderita penganiayaan dan siksaan
bertubi-tubi karena mempertahankan keimanannya. Pamannya sendirilah yang
menyiksanya. Azzubair digulung ke dalam tikar, lalu kakinya digantung
diatas dan dibawah kepalanya ditaruh api yang membara. Pamannya berkata,
"Kembali kamu kepada penyembahan berhala !" Tapi Azzubair menjawab, "Saya
tidak akan kembali kafir lagi sama sekali."
Keberanian Azzubair
Ibnu Asakir telah mengeluarkan dari Said bin Al-Musaiyib, dia berkata:
Orang pertama yang menghunus pedangnya fi sabilillah ialah Azzubair bin
Al-Awwam ra. Pada suatu hari, sedang dia sibuk dengan kerjanya,
tiba-tiba terdengar olehnya desas-desus bahwa Rasulullah SAW telah
dibunuh orang. Azzubair tidak membuang waktu lagi, lalu mengambil
pedangnya keluar mencari-cari sumber berita itu. Di tengah jalan dia
bertemu dengan Rasulullah SAW sedang berjalan, wajahnya tertegun.
Rasulullah SAW lalu bertanya: Mengapa engkau wahai Zubair, terkejut?
Jawabnya: Aku dengar berita, bahwa engkau telah dibunuh orang!
Rasulullah SAW juga terkejut, lalu berkata: Kalau aku dibunuh orang,
maka apa yang hendak engkau buat? Jawab Azzubair: Aku akan menantang
semua orang Makkah, karena itu! Rasulullah SAW lalu mendoakan segala
yang baik-baik baginya.
Ibnu Asakir dan Abu Nuaim memberitakan dari Urwah bahwa Azzubair bin Al-Awwam
pernah mendengar bisikan syaitan yang mengatakan bahwa Muhammad SAW
telah dibunuh dan ketika itu Azzubair baru saja berusia dua belas tahun.
Azzubair lalu mengambil pedangnya, dan berkeliaran di lorong-lorong
Makkah mencari Nabi SAW yang ketika itu berada di daerah tinggi Makkah,
sedang di tangan Azzubair pedang yang terhunus. Apabila dia bertemu
dengan Nabi SAW Beliau bertanya: Kenapa engkau dengan pedang yang
terhunus itu hai Zubair? Dia menjawab: Aku dengar engkau dibunuh orang
Makkah. Rasulullah SAW tersenyum, lalu bertanya lagi: Apa yang hendak
engkau perbuat, jika aku terbunuh? jawab Azzubair: Aku akan menuntut
balas akan darahmu kepada siapa yang membunuhmu! Rasulullah SAW lalu
mendoakan bagi Azzubair dan bagi pedangnya, kemudian menyuruhnya kembali
saja. Maka itu dianggap sebagai pedang pertama yang terhunus fii
sabilillah. (Kanzul Ummal 5:69; Al-Ishabah 1:545)
Peperangan pertama antara Syirik dan Iman
Azzubair adalah prajurit dakwah yang menyandang senjata untuk melawan
orang-orang yang menghendaki gugurnya dakwah Islamiah selagi dalam
kandungan. Kepahlawanannya telah tampak pertama kali pada waktu perang
Badar. Dalam peperangan itu, pasukan Quraisy menempatkan pendekarnya
dibarisan terdepan yang dipimpin oleh Ubaidah bin Said Ibnul Aash. Dia
dikenal sebagi seorang yang paling berani, paling pandai dalam
menunggang kuda dan paling kejam terhadap lawan. Kaum Quraisy sengaja
menempatkannya di barisan terdepan untuk menantang pahlawan-pahlawan
berkuda kaum muslimin. Azzubair segera memandang kearah Ubaidah.
Ternyata seluruh tubuhnya berbalut senjata (baju besi) sehingga sulit
ditembus dengan senjata. Yang tampak dari Ubaidah hanya kedua matanya
saja. Azzubair berpikir bagaimana caranya mengalahkan musuhnya yang
berbaju besi itu dan ia menemukan cara yang jitu. Setelah siap, Azzubair
terjun kemedan tempur dan terjadilah perang tanding yang seru sekali.
Dalam dua kali putaran Azzubair mengarahkan lembingnya kemata Ubaidah
dan berhasil menusuk kedua mata itu sampai kebelakang kepalanya. Ubaidah,
pendekar Quraisy itu berteriak dan jatuh tersungkur tanpa gerak.
Menyaksikan terbunuhnya Ubaidah yang tragis ini, barisan kaum musyrikin
ketakutan. Lembing milik Azzubair kemudian diminta oleh Rasulullah SAW.
Lembing itu kemudian berada ditangan Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan
Abdullah ibnu Azzubair meminta lembing itu untuk disimpannya.
Terbunuhnya pendekar Quraisy Ubaidah menambah semangat juang Umat Islam
dalam setiap peperangan dan mereka selalu dapat memenangkannya.
Azzubair Pada Masa Peperangan
Yunus menyebut dari Ibnu Ishak, bahwa Talhah bin Abu Talhah Al-Abdari,
pembawa bendera kaum Musyrikin pada hari Uhud telah mengajak perang
tanding, tetapi tiada seorang pun yang mau keluar menemuinya. Maka
Azzubair bin Al-Awwam ra. keluar untuk menghadapinya. Mereka berdua
bertarung sampai Azzubair melompat ke atas untanya, dan menariknya jatuh
ke atas tanah, dan di situ dia bertarung dengan Talhah, sehingga
akhirnya Azzubair dapat mengalahkan Talhah dan membunuhnya dengan
pedangnya. Lantaran itu Rasulullah SAW telah berkata: Tiap-tiap Nabi ada
pengiringnya, dan pengiringku ialah Azzubair. Kemudian Beliau berkata
lagi: Kalau Azzubair tidak keluar melawannya, niscaya aku sendiri yang
akan keluar dan melawannya, karena melihat banyak orang yang tidak
sanggup melawannya. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:20)
Yunus memberitakan lagi dari Ibnu Ishak yang berkata: Pada hari
pertempuran Khandak, telah keluar Naufal bin Abdullah bin Al-Mughirah
Al-Makhzumi seraya mengajak untuk lawan tanding. Maka segera keluar
menghadapinya Azzubair bin Al-Awwam ra. dan melawannya sehingga dia
dapat membelah tubuh musuhnya menjadi dua, sehingga pedangnya menjadi
tumpul. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:107)
Ibnu Jarir telah mengeluarkan dari Asma binti Abu Bakar ra. dia berkata:
Telah datang seorang Musyrik yang lengkap dengan senjatanya, dia lalu
mendaki di sebuah tempat yang tinggi, seraya berteriak: Siapa yang mau
bertanding dengan aku! Rasulullah SAW berkata kepada seseorang di situ:
Boleh engkau bertanding dengan dia? Jawab orang itu: Jika engkau suruh,
hai Rasulullah! Maka tiba-tiba Azzubair menjengukkan dirinya, maka dia
dilihat oleh Rasulullah SAW seraya berkata kepadanya: Hai putera
Shafiyah! Bangun menghadapinya! Azzubair ra. segera mendatangi musuh itu
dan mendaki bukit hingga tiba di puncaknya. Mereka lalu berduel,
sehingga kedua-duanya berguling-guling dari atas bukit itu. Lalu
Rasulullah SAW yang dari tadi melihat peristiwa itu, berkata: Siapa yang
tersungkur ke bawah bukit itu, dialah yang akan mati. Maka masing-masing
Nabi SAW dan kaum Muslimin mendoakan supaya yang jatuh dahulu itu si
kafir. Maka benarlah si kafir itu yang jatuh dulu, manakala Azzubair
jatuh ke atas dadanya, lalu si kafir itu mati. (Kanzul Ummal 5:69)
Baihaqi memberitakan dari Abdullah bin Azaubair ra. dia berkata: Pada
hari pertempuran Khandak, aku masih kecil dan aku dikumpulkan dengan
kaum wanita dan anak-anak kecil di tempat yang tinggi, dan bersama kami
ialah Umar bin Abu Salamah. Kerap Umar membenarkan aku menaiki bahunya
untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana. Aku melihat ayahku
mengayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri, pendek kata siapa saja yang
coba mendekatinya, dihabisinya dengan pedangnya. Pada waktu petang,
datang ayahku ke tempat kami untuk menjenguk, lalu aku berkata
kepadanya: Ayah! Aku lihat engkau berperang pada hari ini, dan apa yang
engkau lakukan tadi! Ayahku menjawab: Engkau lihat apa yang ayah buat,
duhai anakku? Jawabku: Ya. Dia lalu berkata lagi: Aku lakukan untuk
mempertahankanmu, demi ayah dan ibuku! (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:107)
Bukhari telah mengeluarkan dari Urwah ra. bahwa para sahabat Rasulullah
SAW berkata kepada Azzubair ra. pada hari pertempuran di Yarmuk:
pimpinlah kami untuk menerobos barisan musuh, kami akan ikut di
belakangmu! Azzubair menjawab: Nanti kalau aku menggempur mereka, kamu
akan duduk di belakang saja. Jawab mereka: Tidak, kami akan sama-sama
menggempur! Maka Azzubair pun menerobosi barisan musuh serta menggempur
mereka, dan tidak ada seorang pun bersamanya ketika itu, lalu dia
kembali lagi ke barisannya, sedang lehernya penuh luka-luka oleh pukulan
musuh. Ada dua bekas luka di situ, yang satu adalah dari bekas kena
pukulan di hari Badar. Berkata Urwah r.a.: Aku pernah memainkan tempat
bekas luka itu ketika aku kecil, dan ketika itu Abdullah juga masih
kecil, umurnya sepuluh tahun, lalu ayah kami Azzubair mengajaknya naik
di atas kuda, kemudian diserahkannya kepada orang lain. (Al-Bidayah
Wan-Nihayah 7:11)
Rasulullah SAW sangat mencintai Azzubair
Rasulullah SAW merasa bangga terhadap Azzubair, dan ia bersabda :
"Setiap nabi mempunyai pengikut pendamping yang setia(Hawari) dan
hawariku adalah Azzubair ibnul Awwam." Kecintaan Rasulullah SAW kepada
Azzubair bukan hanya disebabkan ia anak bibi Rasulullah SAW tetapi
karena Azzubair memang seorang pemuda yang setia, ikhlas, jujur, kuat,
berani,murah tangan dan telah menjual diri dan hartanya kepada ALLAH.
Dia adalah seorang pengelola perdagangan yang berhasil dan hartawan,
tapi hartanya selalu diinfakan untuk perjuangan Islam.
Yang pertama Menyambut Panggilan Jihad
Bila diserukan "Hayo berjihad fi Sabilillah", maka ia akan segera
menjadi orang pertama yang datang menyambut seruan itu. Oleh karena
itulah Azzubair selalu mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah
SAW. Selama hidupnya ia tidak pernah absen berjihad. Ketika kaum
muslimin mengepung perbentengan bani Quraidah yang kokoh dan sulit
dikuasai, Azzubair bersama Ali bin Abi Thalib menyerbu dengan memanjat
benteng itu sehingga kaum muslimin dapat memasuki dan menguasai benteng
tersebut. Begitu pula kesigapan Azzubair dalam menyambut seruan jihad
pada perang Alahzaab dan peperangan lainnya sehingga bila Rasulullah SAW
melihatnya, Beliau tersenyum ridho dan gembira, seraya bersabda : :Tiap
nabi mempunyai kawan dan pembela setia(Hawari) dan di antara hawariku
adalah Azzubair.". Azzubair tercatat dalam rombongan yang pernah hijrah
ke negeri Habasyah sebelum hijrah ke Madinah.
Seorang Bernilai Seribu Orang
Ketika Amru Ibnul Aash meminta bala bantuan tentara kepada Amirul
Mukminin, Umar Ibnul Khattab untuk memperkuat pasukan memasuki negeri
Mesir dan mengalahkan tentara Romawi yang kala itu menduduki Mesir, Umar
Ra mengirim empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan
dan ia juga menulis surat yang isinya : Aku mengirim empat ribu prajurit
bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat yang terkemuka dan
masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang
komandan itu ?, mereka adalah Azzubair Ibnul Awwam, Ubadah Ibnu Assamit,
Almiqdaad Ibnul Aswad dan Maslamah bin Mukhallid." Ketika menghadapi
benteng Babilion, kaum muslimin sukar membuka dan menguasainya. Azzubair
Ra memanjati dinding benteng dengan tangga. Lalu ia berseru " Allahu
Akbar" dan disambut dengan kalimat tahuid oleh pasukan yang berada
diluar benteng. hal ini membuat pasukan musuh gentar, panik dan
meninggalkan pos-pos pertahanan mereka sehingga Azzubair dan
kawan-kawannya bergegas membuka pintu gerbang maka tercapailah
kemenangan yang gilang gemilang pada kaum muslimin.
Wafatnya Azzubair Ra
Ketika terjadi pertempuran hari "Aljamal" antara pasukan yand dipimpin
Siti Aisyah Ra dengan pasukan Ali Ra, Azzubair bertemu dengan Ali dan
menyatakan dirinya tidak lagi memihak dan akan berusaha mendamaikan
kedua pasukan itu. Setelah itu maka diapun pergi. Tetapi dia dibuntuti
oelh beberapa orang yang menginginkan berlanjutnya fitnah dan perang.
Azzubair ditikam ketika sedang menghadap Allah (dalam keadaan menunaikan
shalat).
Kisah-kisah Sahabiah Nabi
-
Aisyah Binti Abu Bakar rha - Puteri
Sahabat Nabi, Istri Nabi
-
Fathimah Azzahra - Puteri Rasulullah
-
Hafshah Binti Umar - Profil Seorang
Shahabiah yang Teguh dan Sabar
-
Khadijah Binti Khuwailid - Istri
Rasulullah Yang Agung
-
Ummu Habibah - Shahabiah yang Tabah
-
Ummu Salamah
-
Zainab Al Kubra R.A. - Cucu Wanita
Rasulullah yang Tabah
-
Zainab Binti Jahsy Bin Ri`ab R.A -
Istri Nabi Yang Paling Banyak Sedekahnya
-
Beberapa Sahabiah dalam Medan Jihad
Aisyah Binti Abu Bakar rha - Puteri Sahabat
Nabi, Istri Nabi
Seorang gadis kecil periang berumur sembilan tahun sedang gembira
bermain-main dengan teman-temannya. Rambutnya awut awutan dan mukanya
kotor karena debu. Tiba-tiba beberapa orang yang sudah agak tua muncul
dari sebuah rumah di dekat situ dan datang ke tempat anak-anak tadi
bermain-main. Mereka lalu membawa anak gadis itu pulang, memberinya
pakaian yang rapi, dan malam itu juga, gadis itu dinikahkan dengan
laki-iaki paling agung di antara manusia, Nabi ummat Islam. Suatu
penghormatan paling unik yang pernah diterima seorang wanita. Aisyah
adalah salah seorang putri tersayang Sayidina Abu Bakar ra, sahabat Nabi
yang setia, yang kemudian menggantikan Nabi sebagai Khalifah Islam yang
pertama.
Aisyah rha. lahir di Mekkah 614 Masehi, delapan tahun sebelum permulaan
zaman Hijrah. Orangtuanya sudah memeluk agama Islam. Sejak mulai kecil
anak gadis itu telah dididik sesuai dengan tradisi paling mulia - agama
Islam - dan dengan sempurna dipersiapkan dan diberinya hak penuh untuk
kemudian menduduki tempat yang mulia. Ia menjadi istri Nabi selama
sepuluh tahun. Masih muda sewaktu dinikahkan dengan Nabi, tetapi ia
memiliki kemampuan sangat baik sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
tugas barunya. Kehadirannya membuktikan bahwa ia seorang yang cerdas dan
setia, dan sebagai istri, sangat mencintai tokoh dermawan paling besar
bagi umat manusia.
Di seluruh dunia, ia diakui sebagai pembawa riwayat paling otentik bagi
ajaran Islam seperti apa yang telah disunahkan oleh suaminya. Ia di
anugerahi ingatan yang sangat tajam, dan mampu mengingat segala
pertanyaan yang diajukan para tamu wanita kepada Nabi, serta juga
mengingat segenap jawaban yang diberikan oleh Nabi. Diingatnya secara
sempurna semua yang disampaikan Nabi kepada para delegasi dan jemaah di
masjid. Karena kamar Aisyah itu bersebelahan dengan masjid, dengan
cermat dan tekun ia mendengarkan dakwah, ta'lim, dan mudzakarah Nabi
dengan para sahabat dan orang-orang lain. Ia mengajukan juga
pertanyaan-pertanyaan kepada Nabi tentang soal-soal yang sulit dan rumit
sehubungan dengan ajaran agama Islam. Hal-hal inilah yang menyebabkan ia
menjadi ilmuwan dan periwayat yang paling besar dan paling otentik bagi
sunnah Nabi dan ajaran Islam.
Aisyah tidak ditakdirkan hidup bersama-sama dengan Nabi untuk waktu yang
lama. Pernikahannya itu berlangsung hanya sepuluh tahun saja. Tahun 11
Hijrah, 632 Masehi, Nabi wafat dan dimakamkan di kamar yang dihuni
Aisyah. Nabi digantikan oleh seorang sahabat yang setia, Abu Bakar ra,
sebagai khalifah islam yang pertama. Aisyah terus menduduki urutan
pertama, dan setelah Fathima rha. meninggai dunia di tahun 11 Hijrah,
Aisyah dianggap sebagai wanita yang paling penting di dunia Islam.
Tetapi ayahnya, Abu Bakar, tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia dua
setengah tahun setelah wafat Nabi. Selama kekuasaan Umar al-Faruq,
khalifah yang kedua, Aisyah menduduki posisi sebagai ibu utama di
seluruh daerah-daerah Islam yang secara cepat makin meluas. Orang datang
untuk meminta nasihat-nasihatnya yang bijaksana tentang segala hal yang
pen ting. Umar terbunuh dan kemudian Khalifah Usman.
Dua peristiwa kesyahidan tersebut telah mengguncangkan sendi-sendi
Islam, dan menjurus kepada perpecahan yang tragis di kalangan umat
Islam. Keadaan itu sangat merugikan agama yang sedang menyebar luas dan
berkembang dengan cepat, yang pada waktu itu telah menjalar sampai ke
batas pegunungan Atlas di sebelah Barat, dan ke puncak-puncak Hindu Kush
di sebelah Timur. Aisyah tidak dapat tinggal diam sebagai penonton dalam
menghadapi oknum-oknum pemecah-belah itu. Dengan sepenuh hati ia membela
mereka yang menuntut balas atas kesyahidan khalifah yang ketiga. Di
dalam Perang Unta, suatu pertempuran melawan Ali, khalifah yang keempat,
pasukan Aisyah kalah dan ia terus mundur ke Madinah di bawah
perlindungan pengawal yang diberikan oleh putra khalifah sendiri.
Beberapa orang sejarawan yang menaruh minat terhadap peristiwa itu, baik
yang Muslim maupun yang bukan, memberikan kritik kepada Aisyah dalam
pertempuran melawan Ali. Tetapi tidak seorang pun yang meragukan
kesungguhan hati dan keyakinan Aisyah untuk menuntut balas bagi darah
Usman.
Aisyah menyaksikan berbagai perubahan yang dialami oleh Islam selama
tiga puluh tahun kekuasaan khalifah yang saleh. Ia meninggal dunia tahun
678 Masehi. Ketika itu kekuasaan berada di tangan Muawiyah. Penguasa ini
amat takut kepada Aisyah dengan kritik-kritiknya yang pedas berkenaan
dengan negara Islam yang secara politis sedang berubah itu. Ibu Utama
agama Islam ini terkenal dengan bermacam ragam sifatnya kesalehannya,
umurnya, kebijaksanaannya, kesederhanaannya, kemurahan hatinya, dan
kesungguhan hatinya untuk menjaga kemurnian riwayat sunnah Nabi.
Kesederhanaan dan kesopanannya segera menjadi obor penyuluh bagi wanita
Islam sejak waktu itu juga. Ia menghuni ruangan yang berukuran kurang
dari 12 X 12 kaki bersama-sama dengan Nabi. Ruangan itu beratap rendah,
terbuat dari batang dan daun kurma, diplester dengan lumpur. Pintunya
cuma satu, itu pun tanpa daun pintu, dan hanya ditutup dengan secarik
kain yang digantungkan di atasnya.
Selama masa hidup Nabi, jarang Aisyah tidak kekurangan makan. Pada malam
hari ketika Nabi mengembuskan napasnya yang terakhir, Aisyah tidak
mempunyai minyak. Waktu Khalifah Umar berkuasa, istri dan beberapa
sahabat Nabi mendapatkan tunjangan yang cukup besar tiap bulannya.
Aisyah jarang menahan uang atau pemberian yang diterimanya sampai
keesokan harinya, karena semuanya itu segera dibagikan kepada
orang-orang yang membutuhkannya. Pada suatu hari di bulan Ramadhan,
waktu Abdullah ibn Zubair menyerahkan sekantung uang sejumlah satu lakh
dirham, Aisyah membagikan uang itu sebelum waktu berbuka puasa.
Aisyah pada zamannya terkenal sebagai orator. Pengabdiannya kepada
basyarakat, dan usahanya untuk mengembangkan pengetahuan orang tentang
sunnah dan fiqh, tidak ada tandingannya di dalam catatan sejarah Islam.
Jika orang menemukan persoalan mengenai sunnah dan fiqh yang sukar untuk
dipecahkan, soal itu akhirnya dibawa kepada Aisyah, dan kata kata Aisyah
menjadi keputusan terakhir. Kecuali Ali, Abdullah ibn Abbas dengan
Abdullah ibn Umar, Aisyah juga termasuk kelompok intelektual di
tahun-tahun pertama Islam.
Ibu Agung Agama Islam ini mengembuskan napas yang terakhir 17 Ramadhan,
58 Hijriah (13 Juli, 678 Masehi). Kematiannya menimbulkan rasa duka
terutama di Madinah dan di seluruh dunia Islam. Aisyah rha. bersama
Khadijah rha. dan Fathima az-Zahra rha. dianggap sebagai wanita yang
paling menonjol di kalangan wanita Islam. Kebanyakan para ulama
menempatkan Fathimah rha. di tangga teratas, diikuti oleh Khadijah rha,
dengan Aisyah rha sebagai yang terakhir. Tapi ulama ibn Hazim malah
menempatkan Aisyah rha. nomor dua sesudah Nabi Muhammad SAW, di atas
semua istri, sahabat, dan rekan-rekannya. Menurut Allama ibn Taimiya,
Fathimahlah yang berada di tempat teratas, karena ia itu anak tersayang
Nabi, Khadijah itu agung karena dialah orang pertama yang memeluk agama
Islam. Tetapi, tidak seorang pun yang menandingi Aisyah mengenai
peranannya dalam menyebarluaskan ajaran Nabi.
Fathimah Azzahra - Puteri Rasulullah
Fathimah Radhiallahu Anha, Puteri dari Rasulullah
Fathimah rha. adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dia adalah puteri
yang mulia dari pemimpin para makhluq, Rasulullah SAW, Abil Qasim,
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Dia besar dalam
suasana kesusahan. Ibundanya pergi ketika usianya terlalu muda dan masih
memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu, dialah yang mengambil
alih tugas mengurus rumahtangga seperti memasak, mencuci dan menguruskan
keperluan ayahandanya. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang
memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal
keutamaan, ilmu, akhlaq, adab, hasab dan nasab. Fathimah rha. lebih muda
dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan Ruqayyah, isteri Utsman bin
Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang
paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :"Fathimah rha. adalah
darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa
yang mengganggunya juga menggangguku." (Ibnul Abdil Barr dalam Al-Istii'aab)
Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang
paling utama, puteri kekasih Robbil'aalamiin, dan ibu dari Al-Hasan dan
Al-Husein. Az-Zubair bin Bukar berkata :"Keturunan Zainab telah tiada
dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fathimah rha.
dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya berkata :"Ya,
Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka
dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." ["Siyar A'laamin Nubala',
juz 2, halaman 88]
Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keutamaan-keutamaannya dan
meriwayatkan dari Aisyah' ra. dia berkata : "Pernah isteri-isteri Nabi
SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu datang Fathimah rha. sambil
berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW. Ketika Nabi
SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya berkata :"Selamat datang,
puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya.
Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fathimah rha. menangis dengan suara
keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk
kedua kalinya, maka Fathimah rha. tersenyum. Setelah itu aku berkata
kepada Fathimah rha. :Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara
khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!" Ketika
Nabi SAW pergi, aku bertanya kepadanya :"Apa yang dikatakan Rasulullah
SAW kepadamu ?" Fathimah rha. menjawab :"Aku tidak akan menyiarkan
rahasia Rasul Allah SAW." Aisyah berkata :"Ketika Rasulullah SAW wafat,
aku berkata kepadanya :"Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu,
ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu ?"
Fathimah rha. pun menjawab :"Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika
berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril
biasanya memeriksa bacaannya terha.dap Al Qur'an sekali dalam setahun,
dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah
dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang
yang mendahuluimu." Fathimah rha. berkata :"Maka aku pun menangis
sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau
berbisik lagi kepadaku, dan berkata :"Wahai, Fathimah, tidakkah engkau
senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mu'min atau ummat ini ?"
Fathimah rha. berkata :"Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat."
Dari Abu Hurairah ra., dia berkata :"Datang Fathimah rha. kepada Nabi
SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya : "Ucapkanlah
:"Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami
dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan, yang
membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada- Mu dari kejahatan segala
sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau- lah awal dan tiada sesuatu
sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiada sesuatu di atas-Mu.
Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah- Mu. Lunaskanlah
utangku dan cukupkan aku dari kekurangan." (HR. Tirmidzi)
Inilah Fathimah rha. binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan
menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika
kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita- wanita
sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di
antara mereka yang keluar terdapat Fathimah. Ketika bertemu Nabi SAW,
Fathimah rha. memeluk dan mencuci luka-lukanydengan air, sehingga darah
semakin banyak yangk keluar. Tatkala Fathimah rha. melihat hal itu, dia
mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu
sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar." (HR. Syaikha dan
Tirmidzi)
Dalam Peperangan
Dalam kancah pertarungan tampaklah peranan puteri Muslim supaya menjadi
teladan yang baik bagi pemudi Muslim masa kini. Pemimpin wanita penghuni
Syurga Fathimah Az-Zahra', puteri Nabi SAW, di tengah-tengah pertempuran
tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara
tikaman-tikaman tombak dan pukulan- pukulan pedang serta hujan anak
panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan
air bagi para prajurit. Inilah gambaran lain dari puteri sebaik-baik
makhluk yang kami persembahkan kepada para pengantin masa kini yang
membebani para suami dengan tugas yang tidak dapat dipenuhi.
Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama
wanita-wanita dari Madinah menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika
melihat luka-lukanya, Fathimah rha. langsung memeluknya. Dia mengusap
darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah
situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang
kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra' a.s. berlinang air
mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang. Selanjutnya,
inilah dia, Az-Zahra', puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia
memberi contoh ketika keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka
terdapat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu'minin rha. dan
mengangkut air dalam sebuah qeribah dan bekal di atas punggungnya untuk
memberi makan kaum Mu'minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah
SWT.
Perkawinannya dengan Sayyidina Ali
Di waktu umurnya mencapai 18 tahun, dia dikawinkan dengan pemuda yang
sangat miskin hidupnya. Bahkan karena kemiskinan itu, untuk membayar mas
kawin pun suaminya tidak mampu lalu dibantu oleh Rasulullah SAW.
Setelah berkawin kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat
sederhana, gigih dan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Digelari
Singa Allah, suaminya Sayidina Ali merupakan orang kepercayaan
Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk berada di barisan depan dalam
tentera Islam. Maka dari itu, seringlah Sayidatina Fatimah ditinggalkan
oleh suaminya yang pergi berperang untuk berbulan-bulan lamanya. Namun
dia tetap ridho dengan suaminya.
Isteri mana yang tidak mengharapkan belaian mesra daripada seorang suami.
Namun bagi Sayidatina Fatimah rha, saat-saat berjauhan dengan suami
adalah satu kesempatan berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari
kasih-Nya, melalui ibadah-ibadah yang dibangunkan.
Sepanjang pemergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih kecil
menjadi temannya. Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan, Hussin,
Muhsin, Zainab dan Umi Kalsum diusahakan sendiri. Untuk mendapatkan air,
berjalanlah dia sejauh hampir dua batu dan mengambilnya dari sumur yang
40 hasta dalamnya, di tengah teriknya matahari padang pasir. Kadangkala
dia lapar sepanjang hari. Sering dia berpuasa dan tubuhnya sangat kurus
hingga menampakkan tulang di dadanya.
Pernah suatu hari, Sayidatina Fatimah telah menyebabkan Sayidina Ali
tersentuh hati dengan kata-katanya. Menyedari kesalahannya, Sayidatina
Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali. Ketika dilihatnya raut
muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan berlari-lari bersama
anaknya mengelilingi Sayidina Ali. Tujuh puluh kali dia 'tawaf' sambil
merayu-rayu memohon dimaafkan. Melihatkan aksi Sayidatina Fatimah itu,
tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan isterinya itu.
"Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak
memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyembahyangkan jenazahmu,"
Rasulullah SAW memberi nasehat kepada puterinya itu ketika masalah itu
sampai ke telinga baginda.
Begitu tinggi kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah SWT sebagai
pemimpin bagi seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu
berhati-hati dan sopan di saat berhadapan dengan suami. Apa yang
dilakukan Sayidatina Fatimah itu bukanlah disengaja. Bukan juga dia
membentak-bentak, marah-marah, meninggikan suara, bermasam muka, atau
lain-lain yang menyusahkan Sayidina Ali. Meskipun demikian Rasulullah
SAW berkata begitu terhadap Fatimah.
Hafshah Binti Umar - Profil Seorang
Shahabiah yang Teguh dan Sabar
Beliau adalah ummul mukminin yang gemar berpuasa dan shalat. Ibunya
adalah Zainab binti Madh'un binti Hasib. Hafshah adalah istri dari
sahabat Khunais bin Khudzafah Al Sahmi yang ikut hijrah ke Habsyah dan
Madinah. Khunais syahid pada perang Uhud. Ketika itu Hafshah berusia 18
tahun. Meski hidup dirundung duka, namun keimanan dan keteguhan hati
Hafshah dapat meredam segala yang terjadi dan menerpa pada dirinya. Ia
menyadari benar bahwa semua adalah takdir dari-Nya. Kesabaran, ketabahan,
sikap hidup qanaah dan wara' Hafshah selalu menyelimuti pribadinya. Umar
sebagai ayah dari sahabiah yang dijuluki shawwamah (selalu puasa) dan
qawwamah (selalu bangun malam) ini, beliau berusaha mencarikan teman
hidupnya yang cocok. Beliau berangan jika Hafshah dipertemukan oleh
Allah dengan sahabat Utsman bin Affan ra. Karena Utsman juga senasib
dengan Hafshah. Utsman telah ditinggal oleh istrinya yang tercinta
Ruqayyah binti Rasulullah SAW.
Selain itu Ustman adalah sahabat Rasulullah yang terdekat. Beliau
terkenal dengan julukan Al Faruq. Akan tetapi Allah menghendaki lain,
meski Umar, Sang Ayah, berkeinginan keras agar Hafshah dapat
dipertemukan dengan Utsman ra. namun ternyata Utsman menyatakan
ketidaksanggupannya dengan halus. Selain Utsman, Abu Bakar juga diberi
tawaran untuk mempersunting sahabiah Hafshah ini. Namun, ternyata belum
juga dikehendaki oleh Allah. Barangkali, disinilah hikmah-Nya yang
sangat agung. Bahwa di setiap kesusahan pasti akan datang kemudahan. Dan
apa yang belum digenggam di tangan manusia di saat ini, barangkali akan
diganti oleh Allah dengan yang lebih baik di hari depan.
Sebagai seorang ayah, sahabat Umar tetap berusaha mencarikan pasangan
hidup yang serasi untuk shahabiah Hafshah. Setelah beberapa langkah ia
tempuh dan Allah belum membukakan jalan, akhirnya semua diadukan kepada
Rasulullah SAW. Dari Rasulullah inilah hati Umar merasa tenteram. Dahaga
yang diresahkan Umar, disiram dengan kesejukan kata mulia dari makhluk
Allah yang paling mulia, Rasulullah SAW. Rasulullah berkata, bahwa
Hafshah akan menikah dengan yang lebih baik dari Utsman. Dan Utsman akan
menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.
Dan benar, akhirnya Allah mempertemukan sahabiah Hafshah dengan manusia
teragung di dunia ini, Rasulullah SAW. Hal ini belum pernah terbayangkan
oleh Hafshah, bahkan Umar sendiri sebagai ayahnya. Itulah buktinya lagi
bahwa kesabaran dapat menjanjikan sejuta kesenangan di hari depan, yang
tidak pernah terlintas di benak manusia. Semua barangkali karena manusia
hanya mampu melihat segala yang kasat mata, sementara kaca mata Ilahi
lebih tajam dari apa yang ada di sisi manusia. Disitulah juga letak
'ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Kita tentunya ingat pada suatu
kaidah yang mengatakan bahwa al 'ibratu bi 'umum al lafdzi la
bikhushush al sababi; pelajaran dilihat dari generalisasi lafadznya,
bukan dari spesifikasi sebab yang terjadi.
Ya, ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua
kaum muslimin. Bahkan bagi semua lapisan nilai-nilai fitrah kemanusiaan
(humanisme) umumnya, yang kerap kali didengung-dengungkan oleh komunitas
moderen. Lihatlah, bagaiamana masyarakat Islam merasa bertanggungjawab
sekali terhadap kondisi masyarakat dalam strata sosial apapun, sampai
kondisi ditinggalnya sang istri oleh sang suami atau sebaliknya.
Barangkali, kondisi semacam ini dalam jangkauan undang-undang masyarakat
moderen, tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada modin atau kantor
urusan agama. Lihatlah masyarakat Islam percontohan generasi pertama
ini. Lihatlah bagaimana Rasulullah juga ikut campur dalam permasalahan
ini. Bahkan berusaha mencarikan solusi yang tepat terhadap permasalahan
ini.
Semua berangkat dari kesadaran bahwa bangunan masyarakat tidak akan
terjalin kokoh kalau tidak dimulai dari bangunan keluarga yang shalih.
Dan manusia yang paling bertanggung jawab terhadap kecemerlangan
generasi pertama ini adalah Rasulullah SAW. Maka apapun yang terjadi,
beliaulah yang pertama kali berani mengorbankan segala kepentingan
pribadinya. Pesan Rasulullah senantiasa terngiang di telinga sayyidah
Aisyah ketika beliau berkata, "Telah lewat masa tidur kita wahai Aisyah."
Ini menunjukkan sikap Rasulullah yang sangat agung, dengan mendahulukan
kepentingan ummat dari kepentingan pribadi. Itulah makanya, berdasar
perintah Allah, akhirnya Rasulullah memperistri Hafshah ra. Dari sinilah
Hafshah mendapat semangat hidup yang prima, karena didampingi oleh
manusia yang paling mulia; Rasulullah SAW.
Semangat hidup tersebut sangat nampak sekali setelah beliau hidup di
tengah-tengah rumah Rasulullah SAW. yang dibuktikan dengan potensi iman,
akhlak dan akal yang sangat dibanggakan. Sebagaimana yang makruf, bahwa
rumah Rasulullah adalah rumah kenabian. Rumah Rasulullah adalah rumah
ilmu. Rumah Rasulullah adalah rumah Al Quran. Maka istri-istri nabi
senantiasa menghidupkan karakter kehidupan rumah Rasulullah dengan
semangat ilmu, semangat ibadah dan semangat amal yang tinggi tersebut.
Bahkan diantara istri-istri nabi mempunyai kelebihan-kelebihan yang
berbeda antara satu dengan lainnya. Hafsah sendiri terkenal sebagai
sahabiah yang terkenal banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW, hingga
wafatnya. Bahkan diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar sendiri yang
selalu meniru segala jejak dan amal Rasululllah, selalu menjadikan
Hafshah sebagai rujukan, tempat bertanya tentang hadits yang beliau
tidak ketahui. Dari segi ibadahnya sahabiah Hafshah ini terkenal dengan
julukan al shawwamah al qawwamah (yang senantiasa puasa dan
bangun malam). (Lihat al Ishabah fi al Tamyiz al Shahabah:4/265).
Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, pada awal kekhalifahan
beliau terjadi fenomena kemurtadan yang cukup riskan, terutama mereka
yang belum kuat imannya.. Bahkan mengganggu stabilitas masyarakat Islam
yang baru ditinggal oleh Rasulullah SAW. Di daerah Nejed dan Yaman
banyak kaum muslimin yang melepaskan diri dari keislamannya dan menolak
membayar jizyah. Maka diutuslah pasukan untuk menyelesaikan permasalahan
ini oleh Abu Bakar . Dan terjadilah peperangan yang cukup hebat, setelah
beberapa peringatan yang disampaikan kepada mereka agar kembali kepada
Islam.
Tentara Islam yang ikut dalam operasi ini mereka banyak dari para
penghafal Al Quran. Dalam peperangan ini telah gugur sebanyak 70 sahabat
penghafal Al-Quran. Bahkan dalam suatu riwayat diceritakan bahwa sebelum
peperangan itu terjadi, telah gugur para penghafal Al Quran dengan
jumlah yang sama ketika di Bi'ru Ma'unah, dekat kota Madinah. Maka dari
itu Umar ra. khawatir kalau sahabat para penghafal Al Quran yang lain,
yang masih hidup, juga akan gugur. Kemudian beliau datang kepada Abu
Bakar ra. memusyawarahkan hal ini. Umar mengusulkan agar Al Quran yang
ada dikumpulkan, demi menjaga kemusnahan.
Dalam pengumpulan Al Quran ini sahabat yang bertanggung jawab adalah
Zaid bin Tsabit. Ia bekerja sangat teliti dan hati-hati. Dan,
terkumpullah Al Quran tersebut dalam satu mushaf. Mushaf tersebut
akhirnya dipercayakan pemeliharaannya kepada sahabiah Hafshah ra., yang
akhirnya dikenal dengan nama mushaf Hafshah. Beliaulah sang pemelihara
Al Quran, selama 10 tahun hingga datang masa Utsman ra menjabat sebagai
khalifah. Pada masa Utsman mushaf Hafshah diperbanyak kembali dan
disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaan kaum muslimin untuk menyatukan
bacaan.
Begitu besarnya peran Hafshah terhadap ummat Islam. Dan begitu agungnya
nilai kesabaran dan keteguhannya, hingga membawa beliau kepada kedudukan
yang sungguh sangat mulia; sebagai pendamping Rasululullah (tergolong
dari istri nabi yang kelima selain Ummi Habibah, Ummi Salmah, Aisyah dan
Saudah binti Zam'ah), sebagai sumber rujukan ilmu dan sebagai pemelihara
Al Quran. Dan benar, bahwa hasil dari kesabaran lebih manis dari madu (ahla
min al'asal) meskipun rasa awalnya lebih pahit dari bratawali.
Wallahu yahdi ila sawa al sabil. wahuwa ahkam wa 'alam.
Khadijah Binti Khuwailid - Istri Rasulullah
Yang Agung
Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan,
cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan
bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak
memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik
orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas
kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan
halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk
ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat
sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal.
Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi
dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai
pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: "Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan
menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman." "Nabi itu berasal dari
negeri mana?" tanya Khadijah bersungguh-sungguh. "Dari kota Makkah ini!"
ujar Waraqah singkat. "Dari suku mana?" "Dari suku Quraisy juga."
Khadijah bertanya lebih jauh: "Dari keluarga mana?" "Dari keluarga Bani
Hasyim, keluarga terhormat," kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan
terakhir: "Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?" Orang tua
itu mempertegas: "Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!"
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya.
Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak
itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak
munculnya sang pemimpin itu.
Nabi Muhammad Berniaga
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu
yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang
hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamanya amat sayang
kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan
mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti
yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara
perempuannya bernama 'Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata:
"Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin.
Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang
harus diperbuat."
Setelah memikirkan segala ikhtiar, 'Atiqah pun berkata: "Saudaraku, saya
mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke
negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya
biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita
pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi
nafkah, kemudian dicarikan isterinya."
Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan
Muhammad, ia pun tidak keberatan. 'Atiqah mendatangi wanita hartawan itu,
melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan
dalam kafilah niaga ke negeri Syam.
Khadijah, tatkala mendengar nama "Muhammad", ia berfikir dalam hatinya:
"Oh... inikah takwil mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah
bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim,
dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi
akhir zaman." Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk
bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena kuatir akan
menjadi fitnah.
"Baiklah," ujar Khadijah kepada 'Atiqah, "saya terima Muhammad dan saya
berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan
berkatnya atas kita bersama.". Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan,
menyembunyikan apa yang ada di kalbunya. Kemudian ia meneruskan: "Wahai
'Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan
penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi
dari biasanya."
'Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui
saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita
hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua
saudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: "Pergilah ananda
kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah
tugasmu sebaik-baiknya."
Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar
dari pekarangan rumah pamannya, tiba-tiba ia mencucurkan air mata
kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya
dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.
Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah,
kepala rombongan: "Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah
bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!"
Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari
halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali,
tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya. Dari mulutnya
terucap suara kecil: "Aduh hai nasib! dimana gerangan ayahku Abdullah,
dimana gerangan ibuku Aminah. Kiranya mereka menyaksikan nasib anaknya
yang miskin yatim piatu ini, yang justeru lantaran ketiadaannyalah
sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah
aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku."
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka
memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan
agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian
terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas
sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang
menaunginya hingga mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah
seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah
di bawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia
terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah,
padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena
pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat.
Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk
menyiasat siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.
Semua anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali
Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan
kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas
kafilah, bertanyalah beliau: "Apakah di antara kalian masih ada yang
tidak hadir di sini?" Maisarah menjawab: "Hanya seorang yang tinggal
untuk menjaga barang-barang." Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan
terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan. Ketika
Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula
mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat Muhammad SAW
masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu,
dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun
walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang
memiliki karomah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: "Hai pemuda,
dari negeri mana asalmu?" "Dari Makkah". "Dari qabilah mana?" tanya sang
Rahib. "Dari Quraisy, tuan!" "Dari keluarga siapa?" "Keluarga Bani
Hasyim." "Siapa namamu?" "Namaku, Muhammad."
Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk
Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya
mengucapkan: "Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah." Ia menatap
wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: "Sudikah
engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan
keyakinanku lebih mantap?" "Tanda apakah yang tuan maksudkan?" tanya
Muhammad SAW. "Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian
di antara kedua bahumu!"
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan
jelas ciri-ciri yang dimaksudkan. "Ya... ya... tertolong, tertolong!"
seru Rahib. "Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!"
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: "Hai hiasan
di hari kemudian, hai pemberi syafa'at di akhirat, hai peribadi yang
mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh alam!" Dengan
pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah menjadi seorang
muslim sebelum Muhammad SAW. dengan resmi menerima wahyu kerasulan dari
langit.
Orang - orang Yahudi Gementar Ketakutan
Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan
berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada
saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara
besar-besaran.
Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu.
Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara
mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala
yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang menyebabkan orang -
orang Yahudi gemetar ketakutan.
Seorang di antara mereka bertanya: "Alamat apakah ini?" Semuanya heran,
cemas dan ketakutan. "Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini,"
jawab pengerus upacara. "Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan
muncul bilamana seorang lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman,
mendatangi hari raya agama Yahudi. Mungkinkah sekarang orang itu berada
di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah
tangkap!"
Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil, dan Maisarah, yang
mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak
terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah
kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan. Tanpa
menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat
pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari
kejahatan orang-orang Yahudi.
Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari mendekati
Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a,
memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara-perkara lain yang
menyangkut perjalanan. Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: "Apakah
engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?" Muhammad SAW berkata:
"Ya, saya bersedia apabila ditugaskan".
Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh
utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun
menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan
kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat
memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang
berkaitan dengan diri Muhammad SAW.
Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan
mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s .:
"Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW!
Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia
dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!"
Kemudian Allah SWT mendatangkan kantuk kepadanya sehingga baginda SAW
tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang
cukup singkat. Saat terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada
di pintu masuk kota kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah
mukjizat Tuhan kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.
Sementara baginda SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a,
secara kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil
kepalanya keluar jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba
dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya dari arah bertentangan di bawah
naungan awan yang bergerak perlahan-lahan di atas kepalanya.
Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh
penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian
tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar
menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang
duduk di sekitarnya: "Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang
itu?" sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang di antara mereka menjawab: "Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya
sayyidati!" Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: "Kalau
benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah
sampai!"
Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita
hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas:
"Kuberikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di
atasnya."
Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari
ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah Pamannya setelah
melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata:
"Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!" Suaranya ramah, bernada
dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya,
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu
tetapi pasti. Katanya: "Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku
dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan
jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu". Kepalanya tertunduk, dan
wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban. "Oh,
itukah....! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa
bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan," kata Khadijah
r.a. "Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri
bagimu". Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan
tekanan suara memikat dan mengandung isyarat: "Aku hendak mengawinkanmu
dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan
oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi
ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu". Khadijah tertunduk lalu
melanjutkan: "Tetapi sayang, ada aibnya...! Dia dahulu sudah pernah
bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan
pengabdi kepadamu".
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama
terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan,
yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat
mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda
yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun
mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh
Khadijah r.a.
Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia
menceritakan kepada Pamannya: "Aku merasa amat tersinggung oleh
kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan
ucapannya ini dan itu "anu dan anu...." Ia mengulangi apa yang dikatakan
oleh perempuan kaya itu. 'Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia
seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya
menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: "Muhammad, kalau benar
demikian, aku akan mendatanginya".
'Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: "Khadijah,
kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun
memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku,
anak saudaraku Muhammad?"
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya
itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan
hati 'Atiqah: "Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu?
Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan
kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau
tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati".
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat 'Atiqah terdiam. Kedua
wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. "Tapi
Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin
Naufal?" tanya 'Atiqah sambil meneruskan: "Kalau belum cobalah meminta
persetujuannya." "Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu
Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana
sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran", Khadijah r.a
berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan
keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan
seorang Nabi akhir zaman.
'Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia
segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu
Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil
pertemuan 'Atiqah dengan Khadijah "Itu bagus sekali", kata Abu Thalib, "tapi
kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu."
Ummu Habibah - Shahabiah yang Tabah
Nama aslinya Ramlah, tapi lebih dikenal sebagai Ummu Habibah. Ia puteri
seorang tokoh besar Qurays yang amat menentang dakwah Nabi, yaitu Abu
Sofyan yang nama aslinya Shakhar bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syam. Ibu
Ramlah adalah bibi sahabat Nabi, Utsman bin Affan ra, namanya Shafiyah
binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syam.
Saat Muhammad diangkat Allah sebagai nabi, Ramlah baru berusia 13 tahun.
Akan tetapi kepribadiannya yang kuat, kefasiha dalam berbicara dan
kecantikannya membuat namanya sudah cukup dikenal. Akan tetapi dalam
perjalanan hidupnya, ia banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang
amat berat.
Ramlah Menikah
Pemuda beruntung yang mempersunting Ramlah adalah Ubaidillah bin Jahsy.
Berbeda dengan kebanyakan pemuda Qurays, Ubaidillah dikenal anti minuman
keras dan judi. Bahkan Ubaidillah adalah pemuda yang berpegang teguh
pada agama Ibrahim as, ia pantang menyembah dewa dan berhala. Tak heran,
begitu mendengar ajaran Muhammad saw, Ubaidillahpun segera menyambut
masuk Islam bersama Ramlah.
Ramlah Hijrah
Dapat kita bayangkan, puteri dari seorang tokoh penentang Muhammad
ternyata justeru masuk Islam bersama suaminya. Maka murkalah sang ayah.
Diusirlah Ramlah dan menantunya. Sejak itu, penganiayaan, pengasingan,
pengusiran, bahkan pembunuhan menimpanya bertubi-tubi. Akhirnya
Rasulullah saw pun berkata, "Alangkah baiknya jika kalian berangkat
hijrah ke negeri Habasyah karena di sana dipimpin seorang Raja yang adil
dan bijaksana. Di bawah kekuasaannya tak seorangpun boleh dianiaya.
Berangkatlah sampai Allah memberikan jalan keluar bagi kita semua."
Maka berangkatlah sejumlah 80 orang lebih hijrah ke negeri yang dipimpin
oleh Raja Najasyi. Di antaranya terdapat sahabat Hudzaifah beserta
istrinya, Zubair bin Awwam, Mush'ab bin Umair, Abdurrahman bin Auf, dan
juga Ramlah beserta suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Bahkan Ramlah hijrah
dalam keadaan hamil tua. Setibanya di Habasyah, iapun melahirkan seorang
puteri, diberi nama Habibah. Sejak itulah Ramlah lebih dikenal sebagai
Ummu Habibah.
Panasnya gurun Sahara mereka lalui dengan jerih payah serta di bawah
pengejaran kaum musyrik Qurays, Bahkan dua orang diplomat Qurays,
Abdullah bin Abi Rabi'ah dan Amr bin Ash (sebelum masuk Islam) berhasil
mendahului mereka, menghasut dan menyuap Raja Najasyi. Tetapi
alhamdulillah, sebagaimana kata Nabi, Raja Najasyi amat adil dan
bijaksana. Bahkan kelak kemudian iapun masuk Islam, dan ditunjuk Nabi
sebagai wali hakim dalam pernikahannya.
Terjepit di Rantau
Malam itu, Ummu Habibah bangun dengan amat terkejut, "Aku bermimpi
melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya."
Benarlah kekhawatiran Ummu Habibah, karena paginya, Ubaidillah tiba-tiba
berkata, "Hai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik
daripada agama Nasrani. Ketahuilah, kini aku masuk Nasrani!" Tidak hanya
itu, Ubaidillah kemudian menjadi pemabuk berat juga gemar berjudi.
Bahkan Ummu Habibah diultimatum, tetap jadi isteri tapi harus murtad
atau cerai saat itu juga.
Kini Ummu Habibah sebatang kara di negeri rantau. Hendak kembali ke
Makkah, justeru ayahnya adalah dedengkot musuh Nabi. Terpukul hatinya,
karena suaminya justeru murtad dan menjadi pemabuk dan penjudi. Bahkan
sampai matinyapun belum bertaubat.
Menikah Berwalikan Raja
Selepas masa iddahnya, pagi itu, Ummu Habibah kedatangan seorang tamu. "Namaku
Abrahah. Aku adalah pelayan wanita yang bertugas mencuci dan memberi
harum-haruman pada pakaian Raja Najasyi. Kedatanganku kemari adalah atas
perintah Raja, Rasulullah saw mengirim surat, isinya, melamarmu untuk
dijadikan isteri Nabi."
Allahu Akbar. Ummu Habibah yang tabah menghadapi suami dan ayahandanya,
kini dipersunting Nabi. Ummu Habibahpun kini menjadi Ummul Mukminin,
ibunya selurh kaum mukminin.
Ummu Salamah ra
Lembaran sejarah hijrah Ummat Islam ke Madinah, barangkali tidak bisa
melupakan torehan tinta seorang ibu dengan putrinya yang masih balita.
Keduanya, hanya dengan mengendarai unta dan tidak ada seorang lelakipun
yang menemaninya, meski kemudian ditengah jalan ada orang yang iba dan
kemudian mengantarnya, berani menembus kegelapan malam, melewati
teriknya siang dan melawan ganasnya padang sahara, mengarungi perjalanan
yang amat panjang dan melelahkan, kurang lebih 400 km. Dialah Salamah
dan ibunya, Hindun bin Abi Umayyah atau sejarah lebih sering menyebutnya
dengan Ummu Salamah.
Ummu Salamah adalah putri dari pemuka kaum kaya dibani Mughirah, Abi
Umayyah. Parasnya jelita dan ia adalah seorang yang cerdas. Setelah
menginjak usia remaja ia dinikahkan dengan Abdullah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.
Lalu keduanya berkat hidayah Allah SWT menyatakan keislamannya.
Ketika kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, keduanya ikut pula di
dalamnya, meski tidak dalam waktu yang bersamaan. Abdullah (Abu Salamah)
berangkat terlebih dahulu, setelah itu Ummu Salamah menyusul seorang
diri dengan anaknya. Lalu mulailah mereka berdua menjalani kehidupannya
bersama anak-anaknya di kota Madinah tercinta.
Tapi tak lama kemudian Abu Salamah akibat luka yang dideritanya semenjak
perang Uhud meninggal dunia. Akhirnya Ummu Salamahpun seorang diri
mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kemudian datanglah Abu Bakar ra
untuk melamarnya, juga Umar bin Khattab ra. Namun dengan lemah lembut
kedua lamaran tersebut ia kembalikan.
Setelah itu datang pula utusan Rasulullah SAW untuk meminangnya. Ummu
Salamahpun menolaknya dengan berbagai pertimbangan. Namun setelah
mendapat penjelasan dari Rasulullah SAW akhirnya ia menerima lamaran
tersebut.
Di antara para istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah adalah istri yang
tertua. Dan untuk menghormatinya, Rasulullah SAW sebagaimana
kebiasaannya sehabis sholat Ashar, beliau mengunjungi istri-istrinya
maka beliau memulainya dengan Ummu Salamah ra dan mengakhirinya dengan
Aisyah ra.
Ummu Salamah wafat pada usia 84 th, bulan Dzul-Qo'dah, tahun 59 Hijrah
atau 62 Hijrah dan dikebumikan di Baqi'. Wallahu a'lam bish-Showab.
(Diolah dari Shifatus Shofwah, Ibnu Jauzi; Min 'Alamin Nisa; M.Quthb,dll)
Zainab Al Kubra R.A. - Cucu Wanita
Rasulullah yang Tabah
ZAINAB AL KUBRA R.A. , Seorang wanita cucu Rasulullah SAW, yang begitu
tabah dan tetap tegar menghadapi ujian dan cobaan, demi kemuliaan
keturunan Rasulullah SAW.
Menulis tentang Sitti Fatimah Azzahra dengan meninggalkan begitu saja
kedua puterinya, rasanya memang kurang adil. Apalagi kalau yang
dibicarakan itu menyangkut puterinya yang bernanna Zainab Al-Kubra. Ia
tercatat dalam sejarah Islam sebagai wanita yang tabah dan gagah berani
Seperti diketahui, di samping kedua puteranya yang termasyhur itu, dalam
perkawinannya dengan Imam Ali r.a., Sitti Fatimah Azzahra juga diberkahi
oleh Allah s.w.t. dengan dua orang puteri. Mereka itu adalah Zainab
Al-Kubra dan Zainab Ash-Sugra. Bersama dengan Al-Hasan dan Al-Husain r.a.,
kedua wanita itu sudah sejak masa anak-anak ditinggalkan untuk
selamalamanya oleh ibundanya. Dalam usia yang masih muda sekali ini,
sesaat sebelum wafat Sitti Fatimah r.a. telah berpesan khusus kepada
Zainab Al-Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua saudara lelakinya itu.
Memang, beban yang terberat bagi Sitti Fatimah Azzahra sebelum meninggal
dunia rupanya adalah keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu.
Dikisahkan bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir
Sitti Fatimah r.a. tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus
memenuhi panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun. Sedangkan
anak-anaknya belum satu pun yang mencapai usia sepuluh tahun.
Sesudah itu pada usia masih remaja, bahkan masih anak-anak, Zainab
Al-Kubra sudah diserahi tanggung jawab untuk menjaga adik-adik dan
merawat kakak-kakaknya. Tidak banyak yang bisa diungkapkan mengenai
peran masa anak-anak yang dilakukan oleh kedua puteri Sitti Fatimah
Azzahra itu. Riwayat-riwayat hanya mengungkapkan kehidupan dan
perkembangan Al Hasan dan Al Husain r.a. Hal ini tidak perlu diherankan,
karena dunia kehidupan Arab yang keras jarang sekali mengedepankan peran
seorang wanita. Jadi walaupun Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash Sugra
termasuk dalam lingkungan keluarga sangat mulia nama mereka jarang
sekali ditonjolkan.
Baru beberapa tahun kemudian setelah Zainab Al Kubra meningkat remaja,
maka peranannya diungkapkan oleh para periwayat. Sejarah akhirnya
mencatat namanya dan mengakui peran penting yang dijalankan oleh Zainab
Al Kubra dalam melindungi kesinambungan generasi penerus keluarga RASUL
Allah s a w. Bagaimana pun juga, walau Zainab Al Kubra seorang wanita,
tetapi ada darah kemuliaan dan kesucian yang mengalir dalam tubuhnya.
Sejak masa anak-anak ia telah turut memikul tanggung jawab kehidupan
rumahtangga Imam Ali r.a. yang ditinggal wafat oleh Sitti Fatimah
Azzahra. Zainab Al Kubra dengan tekun dan tabah melaksanakan amanat yang
ditinggalkan oleh bundanya sesaat sebelum wafat. Dengan penuh tanggung
jawab dirawatnya adik-adik dan kedua kakaknya itu. Boleh dikatakan ia
tak pernah berpisah jauh dari kedua saudara lelakinya itu.
Tidak ada pengungkapan mengenai kelanjutan kehidupan Zainab Ash-Sugra.
Sedangkan tentang Zainab Al Kubra justru makin menonjol setelah
Al-Husain r.a. gugur di Karbala. Wanita inilah pada usia sudah lebih
setengah abad tanpa mengebal gentar sedikit pun sedia mati untuk
menyelamatkan keturunan langsung Rasul Allah s.a.w. Ia menjadi saksi
hidup tentang siksaan yang dialami oleh saudara lelakinya itu sampai
Al-Husain r.a. meninggal dengan gagah berani.
Zainab Binti Jahsy Bin Ri`ab R.A - Istri
Nabi Yang Paling Banyak Sedekahnya
Zainab binti Jahsy adalah putri dari bibi Rasulullah yang bernama
Umaymah binti Abdul Muthalib bin Hasyim. Zainab adalah seorang wanita
yang cantik jelita dari kaum bangsawan yang terhormat. Dipandang dari
ayahnya, Zainab adalah keturunan suku Faras yang berdarah bangsawan
tinggi.
Ia dinikahkan Rasulullah dengan anak angkat kesayangannya Zaid bin
Haritsah. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama, mereka akhirnya
bercerai. Kemudian Allah memerintahkan Nabi Muhammad S.A.W untuk
menikahi Zainab.
"Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya).
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mu`min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya.
Dan adapun ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS Al-Ahzab[33]:37)
Bukhori meriwayatkan dari Anas, Zainab sering berkata, "Aku berbeda dari
istri-istri Rasulullah S.A.W yang lainnya. Mereka dikawinkan oleh
ayahnya, atau saudaranya, atau keluarganya, tetapi aku dikawinkan Allah
dari langit."
Zainab adalah seorang wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang, suka
menolong fakir miskin dan kaum lemah. Dia senang sekali memberi sedekah,
terutama kepada anak yatim.
Rasulullah pernah bersabda kepada istrinya, "Yang paling dahulu
menyusulku kelak adalah yang paling murah tangannya." Maka
berlomba-lombalah istri beliau memberikan sedekah kepada fakir miskin.
Namun tak ada yang bisa mengalahkan Zainab dalam memberikan sedekah.
Dari Aisyah r.a berkata, "Zainab binti Jahsy adalah seorang dari
istri-istri Nabi yang aku muliakan. Allah S.W.T menjaganya dengan
ketaqwaan dan saya belum pernah melihat wanita yang lebih baik dan lebih
banyak sedekahnya dan selalu menyambung silaturahmi dan selalu
mendekatkan dirinya kepada Allah selain Zainab."
Mengapa ?, apakah karena Rasulullah memberikan belanja yang berlebih
terhadap Zainab ? Tidak, Rasulullah S.A.W tidak pernah berbuat seperti
itu. Lalu dari manakah Zainab mendapatkan uang untuk sedekah ? Ia
memiliki berbagai macam keahlian. Ia bisa menyamak kulit, memintal serta
menenun kain sutra, hasilnya dijual dan disedekahkan. Hal itulah yang
menyebabkan wanita cantik istri Rasulullah ini bersedekah lebih banyak
dari yang lainnya.
Setelah Rasulullah wafat, Zainab memperbanyak usahanya, agar bisa
melipat gandakan uang yang diterimanya. Ketika ia mendapat bagian harta
dari Baitul Mal dimasa kholifah Umar r.a dia berdoa, "Ya Allah janganlah
harta ini penyebab fitnah." Segera ia bagikan harta itu kepada yatim
piatu dan fakir miskin. Mendengar itu Umar r.a mengirim lagi, tetapi
Zainab membagi - bagikannya lagi kepada yatim piatu dan fakir miskin.
Wanita pemurah itu wafat pada tahun 44 H pada masa Kholifah Muawiyah.
Wallahu a`lam.
Disarikan dari Shifatush Shofwah, Ibnu Jauzi dan Qishhshu An-Nisa Fi Al
Qur`an Al-Karim, Jabir Asyyaal
Beberapa Sahabiah dalam Medan Jihad
Thabarani memberitakan dari Ummi Sulaim ra. dia berkata: Pernah
Rasulullah SAW keluar berjihad dan ikut bersamanya sebilangan kaum
wanita dari kaum Anshar, maka merekalah yang memberikan minum kepada
orang-orang yang sakit, memberi obat kepada orang-orang yang luka-luka.
(Majmauz-Zawa'id 5:324)
Muslim dan Termidzi telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pernah
Rasulullah SAW keluar berjihad dengan membawa Ummi Sulaim ra. dan
beberapa orang wanita dari kaum Anshar yang ditugaskan untuk menyediakan
air minum dan menguruskan orang-orang yang luka-luka dalam peperangan.
Bukhari telah mengeluarkan berita dari Ar-Rabik binti Mu'awwidz ra. dia
berkata: Kami pernah ikut Nabi SAW keluar berjihad, lalu kamilah yang
menguruskan luka-luka para pejuang, dan mengangkat orang-orang yang
gugur syahid ke kemah kami. Suatu berita lain darinya juga, katanya:
Kami pernah keluar dengan Nabi SAW ke medan perang, dan kamilah yang
memberikan minum kepada para pejuang, menguruskan semua keperluan mereka,
dan mengangkat mereka yang mati terbunuh atau yang luka kembali ke
Madinah.
Imam Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummi Athiyah Al-Anshariyah
ra. dia berkata: Aku pernah keluar berjihad bersama-sama Rasulullah SAW
sebanyak tujuh peperangan, aku menjaga kemah-kemah mereka, memasak
makanan buat mereka, mengobati orang-orang yang luka, dan membantu orang-
orang tua yang sudah tidak terdaya lagi. (Al-Muntaqa)
Thabarani meriwayatkan dari Laila Al-Ghifariyah ra. dia berkata: Aku
pernah keluar berjihad bersama Rasulullah SAW dan aku mengobati
orang-orang yang luka. (Maima'uz-Zawa'id 5:32,4)
Bukhari telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pada hari
peperangan Uhud ramai orang Islam yang terkocar-kacir dan terpisah dari
Nabi SAW Dan aku lihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummi Sulaim
tergesa-gesa membawa kantung Qirbah (terbuat dari kulit kambing) yang
berisi air, memberi minum orang-orang yang dahaga dalam pertempuran itu.
Sesudah habis mereka pergi lagi mengisi air dan memberi minum kepada
tentara Islam yang berperang itu. (Baihaqi 9:30)
Bukhari telah memberitakan dari Tsaklabah bin Abu Malik ra. bahwa Umar
bin Al-Khatthab ra. telah membagi-bagikan kain antara kaum wanita, dan
ada sisa sepotong kain yang agak baik sedikit, maka berkata orang-orang
yang di sisi Khalifah Umar ra.: Wahai Amirul Mukminin! Kain potong yang
lebih ini berikanlah kepada cucunda Rasulullah SAW yang menjadi isterimu
- maksudnya Ummi Kultsum binti Ali ra. Tetapi mereka dijawab oleh
Khalifah Umar ra.: Ummi Sulaith lebih berhak darinya (Ummi Kultsum), dan
Ummi Sulaith seorang wanita Anshar, di antara yang membaiat Rasulullah
SAW. Tambah Umar ra. lagi: Karena dia pernah memberi kita minum pada
hari peperangan Uhud. (Kanzul Ummal 7:97)
Abu Daud memberitakan dari Hasyraj bin Ziyad dari neneknya ra. bahwa
mereka pernah keluar berjihad bersama-sama Nabi SAW di medan Hunain, dan
mereka mengatakan: Kami mendendangkan syair-syair yang memberi semangat
kepada para pejuang membantu keperluan mereka, mengobati para pejuang
yang luka, memberi mereka panah dan menyediakan bubur sawiq, dari Abdul
Razzak dari Az-Zuhri, dia berkata pula, bahwa kaum wanita ada yang
menyaksikan pertempuran di medan perang, memberi minum para pejuang,
mengobati mereka yang luka. (Fathul Bari 6:51)
Kisah-kisah Para Tabiin, Tabiit Tabiin
-
Abu Hanifah - Pribadi yang Seimbang
-
Imam At-Tirmidzi - Satu dari Enam Ulama
Hadits
-
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Abu Hanifah - Pribadi yang Seimbang
Abu Hanifah an Nu'man bin Tsabit bin Zautha, lahir pada tahun 80 H (660
M) dan tinggal di Kufah. Orang tuanya berasal dari keturunan Persia dan
ketika ia masih dalam kandungan di bawa pindah ke Kufah dan menetap
disini hingga Abu Hanifah lahir.
Menurut cerita, ketika Zautha bersama anaknya Tsabit (ayah Abu Hanifah)
berkunjung kepada Ali bin Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini
didoakan agar mendapat keturunan yang mulia. Abu Hanifah dibesarkan di
Kufah dan di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya. Setelah itu bepergian ke Hijaz, terutama di Mekkah
dan Madinah untuk menambah dan memperdalam ilmu dan wawasan yang luas.
Ia berusaha memahami pemikiran hukum yang bersumber dari Umar dan Ali
bin Abi Thalib melalui sahabat-sahabat mereka. Termasuk diantaranya
ialah Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim an Nakhai, Abdulah bin Mashud,
dan Abdulah bin Abbas. Ia pernah bertemu dengan beberapa sahabat
Rasulullah seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Auqa di Kufah, Sahal bin
Sa'ad di Madinah dan Abu Thufail Ibnu Wailah di Mekah.
Karya karyanya yang sampai kepada kita adalah kitab al-Fiqul Akbar,
kitab Al-Risalah, kitab Al-'Alim wal Mutallim dan kitab Al-Washiyah.
Tidak ada buku fiqih karya Abu Hanifah. Meskipun demikian tulisan
murid-muridnya telah merekam secara lengkap semua pandangan fiqih Abu
Hanifah hingga menjadi ikutan kaum muslimin. Muridnya antara lain Abu
Yusuf bin Ibrahim Al-Auza'i, Zafr bin al-Ajil bin Qois, Muhammad bin
Hasan bin Farqad al-Syaibani dan al-Hasan bin Ziyad al-lu'lu'i.
Murid-murid inilah yang merekam dan menulis pemikiran Abu Hanifah, baik
bidang akidah maupun bidang hukum. Murid-murid di bidang tasawuf antara
lain Ibrahim bin Adham Fudhail bin 'Iyad, Dawud al-Tha'i dan Bisyt al-Hafi.
Abu Hanifah memiliki ilmu yang luas dalam semua kajian Islam hingga ia
merupakan seorang mujtahid besar (imamul a'zham) sepanjang masa.
Meskipun demikian ia hidup sebagaimana layaknya dengan melakukan usaha
berdagang dalam rangka menghidupi keluarga. Dengan prinsip berdiri di
atas kemampuan sendiri, ia prihatin juga terhadap kepentingan kaum
muslimin, terutama bagi mereka yang berhajat akhlak yang mulia yang
dimilikinya mampu mengendalikan hawa nafsu, tidak goyah oleh imbauan
jabatan dan kebesaran duniawi dan selalu sabar dalam mengahadapi
berbagai cobaan. Meskipun ia berdagang ia hidup sebagai kehidupan sufi
dengan zuhud, wara, dan taat ibadah. Kalau kita hayati kehidupannya maka
akan nampak kepada kira bahwa Abu Hanifah hidup dengan ilmu dan
bimbingan umat dengan penuh kreatif, hidup dengan kemampuan sendiri
tidak memberatkan orang lain. Disamping menjalankan usaha dagangnya. ia
juga hidup dengan ibadah yang intensif siang dan malam.
Selama hidupnya beliau berhasil melaksanakan tawazzun (keseimbangan). Di
samping sebagai seorang faqih dengan kemampuan intelektual yang
cemerlang, beliau juga mengkhususkan waktu untuk mencari nafkah dengan
berdagang, dan beliau juga ahli ibadah. Beliau dikenal amat pemurah,
berbudi pekerti luhur dan suka memuliakan orang lain, tanpa pandang bulu
siapa orang tersebut. Disamping itu beliau lebih suka memberi daripada
menerima.
Saat Khalifah al-Manshur akan mengangkat hakim agung dengan memiliki
salah satu diantara 4 orang ulama besar: Abu Hanifah, Sofyan Tsauri,
Mis'ar bin Kidam, dan Syuraih. Sementara mereka berjalan bersama menemui
Khalifah, Abu Hanifah bekata kepada para sahabat-sahabatnya: "Aku akan
menolak jabatan ini dengan cara tertentu. Mis'ar hendak menolaknya
dengan berpura -pura menjadi gila, Safyan Tsauri akan lari ke negeri
lain dan Syuraih agar dapat menerima jabatan ini." Sofyan lalu kabur
pergi ke pelabuhan untuk naik kapal menuju negeri lain. Yang lain
melanjutkan dan bertemu kalifah dalam sebuah pertemuan resmi. Khalifah
berkata kepada Abu Hanifah: "Engkau harus bersedia menjadi hakim agung."
Abu Hanifah menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, aku bukan orang Arab dan
pemimpin-pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan-keputusanku. Karena
itu aku merasa bahwa aku tidak cocok untuk jabatan ini." Khalifah
berkata: "Jabatan ini tidak ada kaitannya dengan masalah keturunan
melainkan berkaitan dengan keahlian. Dan engkau adalah seorang ulama
terkemuka di masa ini." Abu Hanifah berkata: "Wahai Khalifah, apa yang
baru kukatakan menunjukkan bukti bagaimana keberadaan saya. Jika telah
kukatakan aku tidak cocok, dan apabila ini adalah sebuah kebohongan
tentu aku tidak cocok dan juga tentu tidak dibenarkan seorang pendusta
menjadi hakim atas kaum muslim dan tidak dibenarkan pula engkau
mempercayai kepada kehidupan kekayaan dan kehormatan yang engkau miliki."
Lalu Mis'ar tampil ke muka dengan menjabat tangan khalifah dan bertanya
macam-macam yang tidak layak hingga khalifah marah dan menyatakan gila
dan khalifah meminta Syuraih untuk menjadi hakim agung tersebut, dan
menolaknya setiap alasan yang dikemukakannya.
Suatu kali Khalifah Abu Ja'far al Manshur, yang terkenal jarang memberi
sedekah kepada orang lain, menawarkan harta sebanyak 10.000 dirham
kepada Abu Hanifah, namun beliau menolaknya sembari mengatakan, "Wahai
Khalifah, aku orang asing di Baghdad, aku tak memiliki tempat yang aman
untuk menyimpan harta tersebut. Simpanlah harta itu di Baitul Maal,
sehingga jika kelak aku membutuhkannya aku dapat memintanya darimu."
Seorang sahabatnya berkata kepadanya: "Kepada anda diberikan dunia anda
menolaknya padahal anda berkeluarga." Abu Hanifah menjawab: "Keluargaku
kuserahkan kepada Allah, sedang makananku sebulan cukup dua dirham
saja."
Di Kufah, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang yang sangat dipercaya
karena sikap amanahnya, kemurahan hati dan kejujuran yang beliau miliki.
Sikap-sikap inilah yang senantiasa menjadikan dagangan beliau laku keras.
Dan lewat usahanya ini, Allah menganugerahkan rizki yang melimpah kepada
Abu Hanifah. Setiap akhir tahun disisihkannya sebagian dari
keuntungannya untuk dizakatkan, dan disumbangkan kepada orang-orang yang
berhak menerimanya.
Abu Hanifah punya mitra dagang bernama Hafs Abdurrahman. Dia inilah yang
menjalankan dagangan Abu Hanifah ke para konsumen. Suatu ketika Abu
Hanifah menyiapkan dagangan untuknya dengan memberikan wanti-wanti bahwa
pada barang dagangannya yang tertentu ada cacatnya. "Jika engkau ingin
menjualnya, jangan lupa jelaskan pada para pembeli tentang cacat yang
ada pada barang tersebut", pesan Abu Hanifah.
Semua barang tersebut akhirnya terjual habis, namun Hafs lupa memberikan
penjelasan kepada para pembeli tentang cacat yang ada pada beberapa
barang seperti yang dipesankan Abu Hanifah. Setelah menyadari
kesalahannya, Hafs berusaha untuk mencari para pembeli barang tersebut,
tapi usahanya itu sia-sia.
Akhirnya masalah tersebut diketahui Abu Hanifah, sehingga beliau juga
berusaha mencari para pembelinya. Namun usaha tersebut juga tidak
membawa hasil. Sejak saat itu Abu Hanifah selalu gelisah dan murung.
Akhirnya untuk menebus kesalahannya tersebut, segera bersedekah sebanyak
30.000 dirham.
Dalam kehidupan, disamping memiliki akhlak dan tingkah laku mulia, ia
selalu menjaga kesucian diri dan harta, disamping ia selalu dalam
peribadahan selama 40 tahun Abu Hanifah memenuhi malam malamnya dengan
shalat dan selama itu shalatnya Subuh dilaksanakan dengan wudhu pada
waktu Isya. Dan dalam shalatnya itu dibacanya Al-Quran dan konon ketika
ia meninggal ia telah menghatamkan al-Quran 7000 kali.
Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama
temuan-temuannya dibidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya
sejumlah 60.000 masalah hingga di digelar dengan Imam al-A'zdam dan
kuluasan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi'i beliau berkata: "Manusia
dalam bidang hukum adalah orang yang berpegang kepada Abu Hanifah."
Tampak ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga meliputi
bidang lainnya termasuk tasawuf. Menurut Yahya bin Mu'azd al-Razi dalam
suatu mimpi ia bertemu dengan Rasulullah dan bertanya: "Wahai Rasulullah
di mana akan aku cari engkau?" Rasulullah menjawab: "Di dalam ilmu Abu
Hanifah," demikian Rasulullah.
Ketika Daud al-Tha'i telah beroleh ilmu yang luas dan sudah mencapai
popularitas yang tinggi dia berkunjung menemui Abu Hanifah seraya
berkata: "Saya mohon diberikan wejangan dan petujuk." Abu Hanifah
berkata: "Amalkan apa yang telah engkau pelajari, karena teori tanpa
praktek ibarat tubuh tanpa roh." Petunjuk ini menghendaki adanya
mujahadah dan dengan mujahadah akan didapat musyahadah.
Imam At-Tirmidzi - Satu dari Enam Ulama
Hadits
Imam Tarmizi adalah salah seorang daripada enam ulama Hadits terkemuka
yang mengarang Kitab Hadits yang dikenali dengan nama Sunan Sittah (Sunan
yang enam). Nama sebenar Imam Tarmizi diambil sesuai tempat tinggal
kelahirannya, Termez, sebuah kota kecil yang terletak di Utara sebatang
sungai utama di Uzbeskitan, Sungai Amudariya. Jaraknya dari Bukhara,
tempat lahir Imam Bukhari, hanya lebih kurang 400 Km.
Lahir pada bulan Zulhijjah tahun 209 Hijrah, yaitu kira-kira 15 tahun
setelah kelahiran Imam Bukhari dan tiga tahun setelah kelahiran Imam
Muslim yang lahir di dearah Naisabur, di timur laut Iran. Beliau
mempelajari Ilmu Hadits ketika berumur 20 tahun sesudah mempelajari
lain-lain ilmu agama pada Ulama- ulama terkenal di dearahnya.
Kecenderungannya kepada ilmu Hadits bermula setelah membaca karangan
Imam Syafi'i yang menerangkan cara mengambilan dalil dari Hadits dan
mengunakannya sebagai hujah untuk memutuskan hukum-hukum yang perlu
kepada ijtihad ulama. Beliau telah mengembara untuk menuntut ilmu ke
Iraq, Hijaz, negeri-negeri lain di khurasan dan juga di mana saja
diketahuinya terdapat ulama-ulama Hadits.
Diberitakan, beliau masih menulis walaupun usianya sudah begitu lanjut.
Beliau wafat pada malam Senin, 13 Rajab tahun 279 Hijrah ketika berusia
70 tahun dan dimakamkan di kota Termez tempat kelahirannya. Walaupun
semasa hidup beliau banyak merantau untuk mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu agama terutamanya ilmu Hadits.
Apa Kata Ulama-Ulama Tentang Imam At-Tarmizi
"Manfaat yang ku terima darimu (At Tarmizi) jauh lebih besar dari yang
engkau terima dariku" - Imam Bukhari (Guru Imam Tarmizi)
"At tarmizi tergolong dalam mereka yang mencatat,mengarang,menghafal
menulis dan mengkaji" - Ibnu Hibban
"At Termizi merupakan satu contoh teladan dari daya penghafalannya" -
Ibnu Saad Al Idris
"Setelah meninggalkan Al Bukhari, tiada siapapun di Khurasan yang
menyamai At Tarmizi dari segi ilmu pengetahuan, daya ingatan, warak dan
zuhudnya" - Al Hakim
"Imam At Tarmizi telah diterima oleh semua orang.Ia terkenal dengan
sifat amanah, kaya dengan ilmu dan berwibawa" - Abu Ya'Li Al Khalili
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang paling zuhud,
warak dan soleh setelah 4 Khulafaur Rasyidin. Beliau memerintah negara
Islam selama 2 tahun 5 bulan saja dan wafat pada umur 39 tahun sebab
diracun oleh pembesar-pembesar Bani Umaiyyah.
Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat ingin memakan buah apel,
tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya, karena semua hartanya dan
harta keluarga telah beliau berikan kepada Baitulmal ketika menjadi
khalifah. Lalu ada seseorang dari kaum keluarganya menghadiahkan buah
apel dan dihidangkan kepada Khalifah Umar oleh Amru bin Muhajir.
Tiba-tiba beliau berkata: "Alangkah wangi dan bagusnya apel ini. Wahai
ghulam, angkat apel ini dan pulangkan kepada orang yang membawanya.
Sampaikan salam kepadanya, sesungguhnya hadiahnya telah sampai kepadaku
ketika aku sudah tiada selera untuk makan apel."
Amru bin Muhajir tahu bahwa Khalifah bertindak demikian karena waraknya.
"Wahai Amirul Mukminin! Dia adalah sepupumu dan masih ahli keluargamu,
sedang engkau telah mendengar bahwa Rasulullah saw mau menerima hadiah,"
kata Amru.
"Celaka engkau, sesungguhnya hadiah bagi Rasulullah saw memang hadiah.
Akan tetapi hadiah pada hari ini bagi kami adalah merupakan rasuah
(suap)," kata Khalifah Umar.
Diceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang
berada di kantor untuk kerja lembur kerajaan. Keadaan ruangan sangat
gelap hingga terpaksa memasang lampu pelita. Seseorang datang dan masuk
kantor Khalifah setelah diizinkan. Tiba-tiba Umar memadamkan api pelita
itu, maka beliau bercakap dengan tamunya dalam keadaan gelap, membuat
orang lain keheranan.
"Mengapa Amirul Mukminin melayani tamu dalam keadaan gelap?" tanya
seorang pegawai Khalifah.
"Yang datang tadi itu adalah keluargaku. Dia datang kepadaku karena ada
urusan pribadi, sedangkan lampu pelita adalah milik negara. Oleh sebab
itu, ketika aku berbicara masalah pribadi, aku padamkan lampu tersebut
karena tak mau terpakai milik negara." kata Umar bin Abdul Aziz.
Lihatlah betapa amanahnya seorang pemimpin Islam pada waktu itu. Beliau
tidak menggunakan kedudukannya sebagai Khalifah untuk kepentingan
sendiri atau kaum keluarga dan sahabat malah apa yang beliau ada
disedekahkan ke Baitulmal.
Kita tidak mengharap pemimpin sekarang menyedekahkan seluruh harta
mereka. Tetapi kita mau mereka ini amanah dan tidak rasuah (korupsi),
tidak menggunakan kedudukan untuk kepentingan peribadi.